TEMPO.CO, Abidjan - Siapa yang tidak mengenal Didier Drogba? Striker Galatasaray yang namanya menjulang saat bergabung dengan klub rakasasa Inggris, Chelsea. Puncaknya, pemain yang berposisi sebagai striker tersebut meraih juara Liga Champions musim 2011-2012 bersama The Blues. Namun, apakah Anda tahu, ketika dia berada di puncak kariernya, negaranya, Pantai Gading, justru sedang diselimuti awan duka?
Drogba meninggalkan Pantai Gading ke Prancis sejak berusia 5 tahun. Di sana dia ikut dengan pamannya, Michel Goba, yang juga merupakan pemain sepak bola. Tiga tahun berselang, Drogba rindu dengan kota kelahirannya, Abidjan. Tetapi, pada 1991, dia kembali ke Prancis setelah ayahnya tidak memiliki pekerjaan di kota terbesar Pantai Gading tersebut. Dan pada saat itulah karier sepak bola Drogba dimulai.
Drogba mengikuti akademi sepak bola dengan klub amatir Prancis, Levallois. Setahun kemudian, dia pindah ke Le Mans. Bersama klub tersebut, Drogba mendapatkan debut profesional sebagai pemain sepak bola dengan bermain di kompetisi nomor dua Prancis, Ligue 2.
Empat tahun bersama Le Mans menarik klub Ligue 1 Guingamp. Di sinilah nama Drogba mulai bersinar. Bakatnya pun tercium oleh klub raksasa Prancis, Marseille. Namun, baru setahun bergabung dengan Marseille, Drogba langsung dipinang Chelsea untuk bermain di Liga Primer Inggris pada 2004, setelah tampil apik bersama Marseille.
Tetapi, di saat karier Drogba melambung pesat, Pantai Gading justru sedang terpuruk. Pantai Gading dilanda perang sipil mulai 2002 hingga 2004. Kepemimpinan mantan presiden Laurent Gbagbo dan pemberontak Forces Nouvelles de Côte d'Ivoire (New Forces) menelan banyak korban tidak berdosa. Ironis memang. Di saat Drogba berlimpah pujian dan prestasi, Pantai Gading justru dibanjiri darah korban perang sipil.
"Saya meninggalkan Pantai Gading dengan citra sebagai negara yang memiliki pemandangan indah, jalan-jalan yang indah, lingkungan hijau, dan semua masyarakat bahagia. Dan ketika saya datang kembali beberapa tahun kemudian, saya melihat perubahan drastis. Pada saat itulah saya mulai bertanya kepada diri saya sendiri," ujar Drogba.
Melihat masyarakat negaranya menjadi korban perang sipil, Drogba tidak tinggal diam. Melalui sepak bola dan ketenaran namanya sebagai pemain sepak bola, setelah membantu tim nasional Pantai Gading lolos ke Piala Dunia 2006, dia memaksa mantan Presiden Gbagbo dan pemberontak mengakhiri perang sipil. Hasilnya, pada 2007, pemerintah dan pemberontak menandatangani perjanjian perdamaian di ibu kota Burkina Faso, Ouagadougou.
"Sesungguhnya, kami ingin semua itu berhenti. Ketika Anda memainkan pertandingan sepak bola dan Anda dikelilingi oleh peluncur roket...baiklah, saya bisa menerima itu untuk keamanan presiden. Tetapi, Anda bermain dengan peluncur roket di mana-mana. Kami ingin bermain dengan suasana lebih tenang lagi. Jadi, setelah pertandingan, kami gembira, dan seseorang berbisik di telinga saya, itu adalah waktu yang tepat untuk menyampaikan pesan. Kemudian kami hanya berimprovisasi," kata Drogba.
Sayangnya, setelah itu, perang sipil kembali terjadi. Perang sipil kedua pada 2010-2011 ini bahkan menelan korban lebih banyak dengan terjadinya pembantaian warga tidak berdosa di beberapa kota Pantai Gading.
Kali ini pertikaian terjadi saat pemilihan umum Presiden Pantai Gading pada 2010. Baik pihak Gbagbo dan lawannya, Alassane Ouattara, sama-sama menyatakan menang. Perang sipil pun tidak terbendung. Puncaknya, dengan bantuan pasukan keamanan PBB, kubu Ouattara berhasil menangkap Gbagbo dengan tuduhan kejahatan perang. Kini, Ouattara menjabat sebagai Presiden Pantai Gading.
ALJAZEERA | JOKO SEDAYU
Terpopuler:
Barcelona Balas Milan Dua Kali Lipat
Andik Vermansyah Bergabung dengan Timnas
KLB PSSI, Persisam Sepakat Djohar Arifin Diganti
Ronaldo Bangga Jadi Duta Mangrove Indonesia
Barcelona Vs Milan: Turunkan Skuat Terbaik