TEMPO.CO, Jakarta -Lolongan anjing terdengar di kejauhan ketika malam turun di Taman Pemakaman Umum (TPU) Jeruk Purut, Jakarta. Gambaran film horor seolah hadir, cukup sunyi. Pada saat itu, Musa, 55 tahun, menyalakan rokok. Ia sedang mengaso. Dahulu, kata dia, Jeruk Purut, tidak seasri sekarang. "Masih tanah kosong dan rawa," kata Musa, Rabu, 3 April 2013, di kediamannya, di belakang makam.
Musa tinggal di ruangan kecil seluas toilet di belakang makam, dekat kantin bernama "Comot". Luasnya tidak jauh beda dari kuburan yang ia gali untuk satu jenazah. Di situ cuma ada televisi 14 inci, pengeras suara dan tempat tidur. Di dindingnya ada poster penyanyi lawas Nafa Urbach. Musa ngefan "abis" sama pelantun "Bagai Lilin Kecil" itu, sampai-sampai mengoleksi cakram padatnya.
Keputusan dia menjadi penggali kubur tidak bisa dihindari. Ia mengaku sempat menjalani pekerjaan lain. Tetapi mau tidak mau harus mewarisi pekerjaan ayahnya yang juga penggali kubur. Ia belajar menggali dari ayahnya. Sejak kecil ia biasa ikut ayahnya pergi ke makam. Bukan hanya Jeruk Purut, tetapi juga makam di Karet Bivak.
Kisah pilu seakan menguntitnya ketika sang istri menjauh karena profesinya. Status pernikahannya hingga sekarang tidak jelas. Ia pisah tidak melalui proses pengadilan agama. "Tahun 1975 saya menikah dan punya anak, tiga tahun setelahnya ditinggal," ujar Musa, yang malam itu memakai kaos biru dan celana pendek.
Hidup susah tak membuatnya meninggalkan kuburan. Ritual menggali makam dan memotong rumput sudah bagian dari nafasnya. Musa mengaku pesanan gali makam datang tak pasti. Tiga hari, kata dia, pesanan itu belum tentu ada, karena pesaingnya--penggali kubur lain--semakin banyak.
Rata-rata, dalam sebulan, ia hanya mendapat Rp 250 ribu. Itu cuma cukup untuk makan dan beli rokok. Jika tidak ada "job", Musa biasanya membersihkan makam. Pagi sekali ia sudah duduk di halaman makam, dan baru kembali ke belakang makam usai maghrib.
Pria berbadan tambun ini tinggal sebatang kara di makam sejak 1978. Jarang ada yang mengunjunginya meski sanak saudaranya asli Betawi semua. Di tengah kesendiriannya itu ia mengalami banyak kejadian horor. Ia kerap disatroni makhluk gaib. "Tetapi bukan pastur pembawa kepala yang terkenal itu," tuturnya.
Pernah, pada suatu tengah malam, sebulan lalu, dia terbangun. Sekujur tubuhnya terasa dingin. Bulu kudunya merinding. Seperti ditiup orang dari samping. Setelah mengenakan sarung, dia penasaran akan sosok di pohon belimbing dekat kamar mandi umum makam. Setelah didekati, sosok itu ternyata perempuan berambut panjang. Ia memberanikan diri diajak bicara. Tapi perempuan itu tidak mau memperlihatkan wajahnya. "Tampaknya ia malu karena mukanya jelek," ujar anak sulung dari 12 bersaudara ini.
Sudah tak terhitung jenazah yang ia makamkan selama hampir empat puluh tahun ia bekerja di makam. Satu jenazah yang paling diingatnya adalah bocah 8 tahun bernama Arie Hanggara, yang meninggal akibat penyiksaan orang tuanya. Kisah Arie ini jadi buah bibir masyarakat di era 80-an, sampai akhirnya difilmkan. "Saya ikut menurunkan jenazah Arie ke liang lahat, saya ikut menangis," tuturnya.
Entah sampai kapan Musa akan terus menjaga pusara-pusara bisu itu. Ia sendiri tak punya harapan muluk. Cuma bisa bersyukur atas rejeki yang diterimanya setiap hari. Saat diminta sesi foto, Musa agak malu-malu karena merasa bukan siapa-siapa meski pernah jadi figuran dalam film horor berjudul "Dewi Fortuna" yang tayang di RCTI. Setelah meneguk habis sisa kopi, dan membakar rokoknya, ia mengambil paculnya dan berjalan ke makam.
HERU TRIYONO