TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Gula dan Terigu Indonesia (Apegti) Natsir Mansyur meragukan kebijakan pemerintah untuk mengimpor raw sugar (gula mentah) bisa memenuhi kebutuhan gula masyarakat di perbatasan. Sebab masalah distribusi gula sampai saat ini masih menjadi kendala utama.
Menurut Natsir, tiga perusahaan yang diberi izin impor yakni PT PG Rajawali III (Pabrik Gula Gorontalo), PT Industri Gula Nusantara (IGN) dan PT Eka Tunggal Mandiri merupakan perusahaan yang pabrik-pabriknya berbasis tebu, bukan raw sugar. Raw sugar, menurutnya lebih cocok buat gula rafinasi untuk keperluan industri, bukan gula Kristal putih yang biasa dikonsumsi. “Ini jadi kurang match,” ujarnya ketika dihubungi Sabtu, 11 Mei 2013.
Selain itu, kata Natsir, tiga perusahaan tersebut tidak berpengalaman dalam hal distribusi, biaya tranportasi, sarana pergudangan. Sehingga Asosiasi sangat pesimistis, langkah perusahaan itu bisa memenuhi kebutuhan gula di kawasan perbatasan. “Ini harus dipikirkan lagi, dan pasti makan waktu,” ujarnya.
Natsir pun menyayangkan hal tersebut. Sebab, menurutnya masalah gula di perbatasan ini sudah cukup kronis. Ia menyebut, di perbatasan harga gula yang dikirim dari Jawa saat ini mencapai Rp 14.500 per kilogram, sementara gula selundupan dari negeri jiran bisa dibeli seharga Rp 9.500 per kilogram.
Bila pemerintah tak bisa menekan disparitas harga, penyelundupan akan terus berlangsung. Akibatnya, pendapatan negara dari pajak bea masuk hilang.
Sebelumnya, Kementerian Perdagangan mengabulkan izin impor gula mentah (raw sugar) untuk wilayah perbatasan. Diantaranya Kalimantan, Aceh, Kepulauan Riau, Sulawesi, dan Maluku.
Sebanyak 93 ribu ton dari total 240 ribu ton impor raw sugar untuk mengisi idle capacity (kekurangan bahan baku tebu) selama musim giling tebu di tiga perusahaan yakni PT PG Rajawali III (Pabrik Gula Gorontalo), PT Industri Gula Nusantara (IGN) dan PT Eka Tunggal Mandiri akan diperuntukkan bagi wilayah-wilayah tersebut.
PINGIT ARIA