Tempo-Banyuwangi-Peneliti dari Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi, Jawa Timur, Susintowati, menemukan kadar merkuri yang cukup tinggi dari sisa pertambangan emas tradisional di muara sungai Lampon, Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi, Jawa Timur. Merkuri tersebut telah meracuni siput dan kerang yang hidup di Pantai Lampon.
Penelitian Susintowati tersebut untuk tesis pascasarjana di Jurusan Biologi Universitas Gajah Mada, Desember 2012 lalu. Penelitian yang berjudul 'Bioakumulasi Merkuri dan Struktur Komunitas Gastropoda di Kawasan Bekas Penggelondongan Emas Lampon' itu mengkaji dampak merkuri pada Gastropoda di pantai yang berjarak sekitar 100 kilometer dari kota Banyuwangi itu.
Susintowati menjelaskan, dia melakukan pengamatan dan pengambilan data di muara sungai dan pantai Lampon, sejak Mei 2010 hingga Juni 2012. Di muara sungai tersebut, kata dia, sejak 2007-2010 dipakai sebagai tempat penggelondongan atau pemisahan bijih emas secara tradisional menggunakan bahan kimia merkuri. Sedikitnya ada 15 penambang yang mengoperasikan 60 mesin penggilingan di muara sungai.
Hasilnya, kata dia, akumulasi merkuri dalam sedimen muara pantai Lampon mencapai 0,45 ppm dan bibir muara hingga 1,17 ppm. Sedangkan timbunan limbah yang tersisa setelah tambang ditutup mencapai 634,19 ppm. Padahal sesuai Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004, kadar merkuri secara alamiah di alam hanya 0,1 ppm. "Jadi konsentrasi merkuri di Lampon sudah di atas baku mutu," kata dia kepada wartawan, Senin 13 Mei 2013.
Merkuri tersebut, kata Susintowati, telah masuk ke tubuh siput dan kerang. Pada siput mangrove (Terebralia sulcata), kandungan merkuri sudah mencapai 3,1 ppm. Dalam tubuh siput pantai (Nerita argus) hingga 3,03 ppm dan jenis Patella intermedia, siput yang sering ditemukan di pantai berbatu, mengandung 0,44 ppm merkuri. "Karena itu saya merekomendasikan supaya warga setempat tidak makan siput dan kerang dari Lampon," kata dia.
Susintowati belum meneliti bagaimana kandungan merkuri pada ikan di Pantai Lampon. Namun tidak menutup kemungkinan, merkuri juga sudah masuk ke tubuh ikan laut.
Menurut Susintowati, adanya pertambangan tradisional itu menunjukkan dampak serius dari aktivitas pertambangan emas. Meskipun tambang tersebut berskala kecil dan sudah ditutup pada 2011, namun efek cemarnya masih tetap berjalan dan bisa meluas. Apalagi keberadaan merkuri di tanah bisa mencapai seribu tahun dan hingga 3 ribu tahun di samudera.
Hasil penelitian ini, kata Susintowati, bisa menjadi pertimbangan bagi pemerintah dan masyarakat apabila membuka pertambangan emas yang lebih besar. "Skala kecil saja sudah berdampak serius pada biota, apalagi kalau tambangnya besar," kata dosen Pendidikan Biologi Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi ini.
Pantai Lampon berada sekitar 10 kilometer dengan Gunung Tumpang Pitu, yang dieksplorasi perusahaan tambang emas PT Indo Multi Niaga. Pada Juli 2012, Ijin usaha pertambangan dari PT IMN dialihkan ke PT Bumi Suksesindo. Tambang tradisional bermunculan di Kecamatan Pesanggaran setelah PT IMN mengeksplorasi tambang emas di wilayah itu pada 2007.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Jawa Timur, Ony Mahardhika, mengatakan, pertambangan mineral skala besar maupun kecil akan merusak ekosistem secara besar-besaran, yang menjadi ruang hidup manusia. Selain itu pasti berdampak pada kesehatan masyarakat setempat. "Di Minahasa, satu kampung harus pergi karena daerahnya tercemar bekas pertambangan emas," kata dia.
Kordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang, Andre S. Wijaya, mengatakan, beredarnya merkuri menjadi bukti ketidaktegasan pemerintah. Seharusnya pemerintah membatasi dan mengontrol distribusi merkuri. "Selama ini hanya pertambangan yang disalahkan, tapi pemerintah belum menyentuh sindikat penjualan merkuri," katanya.
IKA NINGTYAS