TEMPO.CO, Jakarta - Penelitian yang dilakukan Boston Consulting Group bersama Asosiasi GSM Internasional (GSMA) mengungkap temuan baru di dunia telekomunikasi dan informatika. Laporan itu menyebutkan harmonisasi spektrum frekuensi ke 700 MHz untuk layanan seluler dapat mendongkrak pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Direktur Senior GSMA wilayah Asia Pasifik, Chris Perera, mengatakan percepatan migrasi frekuensi akan mendorong pertumbuhan domestik bruto sebesar US$ 39,1 miliar, menciptakan 286 ribu lowongan kerja dan 145 ribu aktivitas usaha baru, serta meningkatkan pendapatan pemerintah hingga US$ 9,4 miliar.
Semua hitungan itu berlaku jika pengalihan frekuensi dilakukan sebelum 2015. Migrasi yang dilakukan setelah 2018, sesuai rencana Kementerian Komunikasi dan Informatika, akan mengurangi pertumbuhan domestik bruto sebesar US$ 16,9 miliar. Pemerintah juga bakal kehilangan potensi pajak sebesar US$ 4,7 miliar dan 152 ribu lowongan kerja baru.
"Semakin lama ditunda, keuntungan sosial ekonomi semakin berkurang," kata Perera, dalam konferensi pers di Hotel Grand Hyatt, Kamis pekan lalu.
Penggunaan frekuensi 700 MHz secara teknis akan menguntungkan Indonesia yang memiliki lebih dari 17 ribu pulau. Menurut Perera, frekuensi ini cukup rendah sehingga bisa meningkatkan jangkauan sinyal internet hingga 30 persen ke daerah pedesaan dan pulau terpencil.
Meluasnya penetrasi sinyal internet sangat penting untuk memberikan akses informasi khususnya bagi penduduk miskin di daerah terpencil. Masyarakat bisa lebih mudah memperoleh akses informasi tentang layanan perbankan, kesehatan, hingga pendidikan.
"Informasi cuaca untuk pertanian dan informasi pasar untuk menjual hasil bumi juga bisa diakses," ujar utusan khusus International Telecommunication Union (ITU), Suvi Linden. Mantan menteri telekomunikasi dan informatika Finlandia ini mengatakan negaranya menjadi yang pertama melakukan harmonisasi frekuensi pada 2007.
Menurut Perera, harmonisasi frekuensi 700 MHz merupakan bagian dari pemanfaatan frekuensi 698 MHz-806 MHz yang berlaku di wilayah Asia Pasifik. Frekuensi ini dapat mencegah saluran komunikasi Indonesia bertubrukan (interference) dengan negara-negara tetangga.
Selain itu frekuensi ini juga terbukti baik sekaligus murah untuk menjalankan long term evolution (LTE) atau 4G, jaringan yang selama ini beroperasi di frekuensi 2,5 atau 2,6 GHz.
Masalahnya, frekuensi 700 MHz masih digunakan oleh televisi analog di Indonesia. Penyelenggara penyiaran merasa ragu untuk melakukan peralihan dari teknologi analog ke digital (digital dividend) lantaran takut kehilangan penonton yang harus membeli decoder untuk siaran digital.
Perera memperkirakan seluruh televisi digital baru akan lenyap dari Indonesia pada 2030. Saat itulah frekuensi penyiaran akan berada di bawah 694 MHz, sehingga frekuensi 700 MHz bebas untuk layanan seluler. "Seluruh masyarakat menggunakan frekuensi yang sama sehingga lebih murah dan tidak ada roaming," kata dia.
MAHARDIKA SATRIA HADI