TEMPO.CO, Jakarta - Wajah itu terlihat sedih. "Aku prihatin, film yang seharusnya menjadi inspirasi buat orang muda hanya tayang atau bertengger sebentar di bioskop, tergilas bersaing dengan film Hollywood," suara prihatin bernada sedih itu ke luar dari mulut Zannuba Arifah Chafsoh.
Mengenakan pakaian serba hijau toska, celana panjang hitam, tunik panjang bermotif abstrak dan kerudung hijau serta sepatu pantopel hitam, wanita yang biasa disapa Yenny Wahid itu terlihat sedih film Sang Kyai harus dicopot atau tidak lagi tayang di bioskop. Ditemui Rabu malam, 12 Juni 2013 di Taman Ismail Marzuki XXI, Cikini, Jakarta Pusat, Yenny ikut nonton bareng bersama kru, pemain film Sang Kyai dan Shinta Nuriyah, ibunya beserta rombongan dari Nahdatul Ulama (NU).
"Ibu belum sempat nonton film ini, beliau baru pulang dari Beijing. Aku sudah tiga kali nonton dan selalu sedih, menyayat hati, terharu, campur aduk, menyaksikan film yang luar biasa dan sangat inspirasi ini," kata Yenny sambil membetulkan posisi kerudungnya yang beberapa kali jatuh.
Ibu dua anak ini mengaku bangga dan kagum dengan film Sang Kyai yang bercerita tentang perjuangan Hasyim Asyari, pemimpin Pondok Pesanstren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur dalam masa penjajahan Jepang.
"Bukan karena ini film keluargaku, atau film yang bercerita tentang Mbahku. Tetapi memang film ini sangat menginspirasi. Film yang sangat diperlukan orang muda masa kini untuk melihat sosok tokoh dan kepemimpinan seseorang. Aku sih memberikan referensi bagus untuk film ini terutama bagi kaum muda," ungkapnya bersemangat.
Putri mendiang Gus Dur itu sedih film ini hanya sebentar masa putar, tayang dan beredarnya di bioskop dan segera tergantikan dengan film Hollywood. Semalam, Rabu, 12 Juni 2013 merupakan masa tayang terakhir. Padahal dia banyak mendapat pesan singkat di telepon seluler dan blackberry, pesan di facebook dan twitter yang menyanyangkan film ini terlalu singkat diputar di bioskop.
Dia menceritakan persiapan film ini memerlukan waktu cukup lama, sekitar tiga tahun. Memerlukan riset mendalam dan sangat lama pengerjaannya karena kendala banyak hal, termasuk biaya, tenaga, pikiran dan waktu.
"Kalau mau jujur, seharusnya film ini menjadi film kebanggaan keluarga Indonesia, sangat pas untuk mengisi liburan sekolah. Sayang, karena kendala berbagai hal termasuk promosi kurang bagus sehingga film ini tidak bisa dinikmati dalam kurun waktu yang panjang," kata Yenny sedih.
Namun dia memberikan acungan jempol kepada pemain di film ini yang merupakan nama besar dengan integritas dan dedikasi yang sangat tinggi bagi perfilman Indonesia sudah tidak diragukan lagi.
"Siapa tidak kenal aktingnya Mbak Christine Hakim, Bang Ikranegara, Mas Agus Kuncoro, Adipati Dolken dan semua kru film ini jempolan," ujar dia sambil mengangkat ke dua ibu jari tangannya.
Untuk menembus kekecewaan dan keprihatinan hanya singkat tayang di bioskop, saat ini, Yenny rajin melakukan pendataan kepada ibu-ibu pengajian atau Majelis Taklim untuk disertakan dalam acara nonton bareng. Rencananya Yenny dan ibunya, Shinta Nuriyah dibantu tim kru film ini akan membuat acara nonton bareng.
"Aku sedang mengadakan ide pendataan Majelis Taklim. Aku akan sewa bioskop satu teater untuk beberapa hari memutar ulang film ini yang ditonton mereka," katanya bersemangat. Selain itu, Yenny juga mulai membuka kontak dengan teman-temannya di luar negeri untuk mendaftarkan film ini ke festifal di luar negeri. "Doakan ya tindakan gerilya kami sukses dan berhasil," ujarnya serius.
HADRIANI P