TEMPO.CO, Surabaya-Polisi mengaku kesulitan menelusuri keberadaan pelanggan mucikari pelacur ABG, NA, 15 tahun. Setelah kasus mencuat, para pelanggan bisnis prostitusi yang dikelola siswi sekolah menengah pertama ini langsung memutus kontak.
"Mereka kan komunikasi lewat BBM (Blackberry Messenger), setelah ada kasus ini, langsung delcon (delete contact)," kata Kepala Unit Kejahatan Umum Kepolisian Resor Kota Besar Surabaya Inspektur Polisi tingkat I M. Solikin Ferry pada Tempo, Minggu, 16 Juni 2013.
Meski demikian, polisi tidak menampik jika penelusuran terhadap pelanggan NA sangat penting. Sebab, mereka bisa dijerat dengan Undang-Undang Perlindungan Anak karena melakukan eksploitasi seksual terhadap anak di bawah umur.
Hanya saja, menangkap para pelanggan atau pemesan bukanlah perkara mudah. Selain karena mereka menutup diri, polisi juga kekurangan alat bukti. "Alat bukti kami yang kurang, tersangka (mucikari) bisa saja nyebut si A, si B, tapi pembuktiannya yang sulit," kata Ferry.
Tidak hanya kesulitan menelusuri para pelanggan yang sebagian besar merupakan orang dewasa. Polisi juga menemui kendala menemukan sisa anak buah NA lainnya. Lantaran mereka melarikan diri dan langsung tertutup setelah kasus ini tersebar di pemberitaan.
Dikatakan Ferry, kasus NA terendus dari laporan masyarakat. Polisi melakukan undercover buy untuk menjebak jaringan NA. Namun hal ini dipertanyakan Direktur Surabaya Children Crisis Center M. Umar. Ia mengatakan sejak 2010, pihaknya selalu mempermasalahkan kenapa polisi tidak pernah menjerat pelanggan atau pemesan dalam kasus prostitusi anak di bawah umur. "Bukan kali ini saja, sejak 2010 sudah kami permasalahkan, tapi mereka tidak mau menjawab itu," katanya.
Padahal, kata Umar, pemesan juga melakukan kriminal karena berhubungan seksual dengan anak-anak. Sayangnya, dalam kasus trafficking, pembeli tidak pernah diproses secara hukum. Inilah nantinya yang akan dipertanyakan Umar di pengadilan.
AGITA SUKMA LISTYANTI