TEMPO.CO, Jakarta -Arnold Poernomo jauh berbeda dari kemunculannya di layar televisi. Saat ditemui di Studio 4 RCTI di Kebon Jeruk, juri MasterChef Indonesia Season 3 ini mengenakan kaus oblong abu-abu, dipadu dengan celana jins belel yang bolong di sana-sini, serta sepatu kets merah menyala. “Halo… Arnold,” ia memperkenalkan diri sambil erat menjabat tangan, beberapa waktu lalu.
Bagi chef Arnold, dapur bukan-lah tempat yang asing. Anak kedua dari tiga bersaudara ini memiliki darah tukang masak. Neneknya memiliki restoran di Kupang. Ibunya pun seorang koki.
Tapi keahliannya di dapur tentu bukan sekadar turunan, tapi juga karena kerja kerasnya. Sejak berusia 14 tahun, ia sudah bekerja di restoran. “Tapi saya kerjanya enggak hanya di dapur,” kata pria kelahiran Surabaya pada 18 Agustus 1988 ini.
Ia pernah mencicipi pekerjaan sebagai tukang bersih-bersih, pramusaji, asisten koki, hingga asisten manajer restoran ketika di Sidney, Australia. Pria berkulit putih ini tinggal di Negeri Kanguru sejak kelas VI sekolah dasar hingga sekitar tiga tahun lalu.
Keputusan untuk bekerja pada usia muda bukan karena ia iseng, melainkan karena kondisi ekonomi keluarganya. “Saya putuskan untuk enggak minta uang jajan lagi sejak umur 14 tahun itu,” katanya.
Bekerja sambil sekolah cukup sulit. Sepulang sekolah, ia langsung bekerja selama enam jam. Sedangkan pada akhir pekan, ia bekerja selama 13 jam.
Demi mendapatkan uang lebih itu pun, ia rela tidak ikut nongkrong dengan teman-temannya. “Sempat jenuh juga, sih. Tapi, ketika saya beli handphone dengan uang sendiri, itu jadi kebanggaan juga,” katanya.
MITRA TARIGAN