TEMPO.CO, Mataram - Delapan anak dari keluarga penganut Ahmadiyah di penampungan Asrama Transito Mataram, Nusa Tenggara Barat, terancam tidak bisa sekolah. Mereka tidak memiliki akta kelahiran sebagai persyaratan masuk sekolah dasar.
Berdasarkan informasi yang dihimpun Tempo, akta kelahiran tidak dapat diperoleh karena buku nikah orang tuanya hilang setelah kasus penyerangan pada Februari 2006. Saat itu 32 rumah warga Ahmadiyah yang dihuni 116 jiwa di komplek Perumahan BTN Bumi Asri, Dusun Ketapang, Desa Gegerung, Kecamatan Lingsar, Kabupaten Lombok Barat, dirusak sekelompok orang.
Mereka kemudian diungsikan di Asrama Transito dan hingga sekarang dokumen kependudukannya belum dibikin, termasuk KTP. Maryam Nur Sidikah, 5 tahun. anak ketiga Sahidin yang pernah menjadi Ketua RT di Dusun Ketapang, menunggu kejelasan kapan bisa masuk sekolah. ”Kami sulit mendapatkan dokumen kependudukan karena semua berkas hangus, termasuk buku nikah,” ujar Sahidin.
Kepala Bidang Pendidikan Dasar Dinas Pendidikan Pemuda dan Olah Raga Kota Mataram Zaenal Arifin mengatakan, masalah yang dihadapi warga Ahmadiyah perlu ditangani khusus. ”Kami akan berikan dispensasi asalkan usianya sudah tujuh tahun,” kata dia. Menurut Zaenal, mereka memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan.
Kepala Perwakilan Ombudsman Nusa Tenggara Barat Adhar Hakim memberikan jaminan untuk melakukan pendampingan terhadap anak-anak tersebut. ”Mereka harus bersekolah karena hal itu merupakan haknya,” katanya kepada Tempo.
Juru bicara Pemerintah Kota Mataram Cukup Wibowo mengatakan, berkaitan dengan dokumen kependudukan ada ketentuan yang harus dipenuhi oleh warga Ahmadiyah tersebut. Apalagi mereka semula merupakan penduduk Kabupaten Lombok Barat. ”Harus didahului proses perpindahan kependudukan dari Lombok Barat ke Kota Mataram,” ucap Wibowo.
SUPRIYANTHO KHAFID