TEMPO.CO, Jakarta -Setahun lalu, Ratna Batara Munti dan Susmono mengikat janji di hadapan penghulu. Yang lain dari yang lain, pasangan ini juga membacakan perjanjian pranikah di luar perjanjian yang tertera di buku nikah. Ada beberapa poin perjanjian yang disepakati oleh keduanya. “Perkawinan advokasi,” ujar Direktur Eksternal Lembaga Bantuan Hukum APIK ini, Senin pekan lalu.
Selain karena sedang melakukan sosialisasi, perjanjian pranikah yang mereka buat karena kesadaran atas kebijakan perundang-undangan yang masih berat sebelah. Perjanjian pranikah ini dibuat, kata Ratna, karena Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 belum memberikan perlindungan yang adil kepada perempuan. Karenanya, perlu perjanjian lain yang lebih terinci dan memberikan perlindungan.
Perjanjian pranikah yang dibuat bersama suaminya itu memuat beberapa hal, di antaranya larangan poligami dan kekerasan dalam rumah tangga, pengaturan pengerjaan tugas rumah tangga, soal anak dan pengasuhan, pengelolaan keuangan rumah tangga, termasuk pembagian harta gono-gini jika dalam perjalanan perkawinan terpaksa bubar jalan.
Ratna menyebutkan, pembagian harta gono-gini, berdasarkan undang-undang, harta yang timbul karena perkawinan akan dibagi dua kepada pasangan yang berpisah. Sayangnya, pembagian sesuai peraturan itu kerap tidak adil dan didasarkan pada persepsi bahwa perempuan atau istri hanya sebagai ibu rumah tangga, bukan pencari nafkah, dan tidak ada kompensasi.
Tapi sekarang banyak perempuan yang bekerja, bahkan menjadi pencari nafkah utama. Sehingga kontribusinya dalam mengumpulkan harta keluarga besar.
Maka dari itu, hal tersebut sebaiknya dibicarakan sebelum pernikahan, sehingga masing-masing pihak juga mengetahui secara jelas apa yang didapatkan jika terjadi perceraian. Misalnya, harta bawaan tetap menjadi milik masing-masing.
“Lebih enak sebelum menikah dibicarakan. Kalau sudah menikah, agak susah dan potensi konfliknya banyak,” ujar Ratna.
Konsultan keuangan dari MRE Financial and Business Advisory, Mike Rini, mengatakan tren membuat perjanjian sebelum menikah memang semakin meningkat dibanding tahun-tahun sebelumnya. Kesempatan laki-laki dan perempuan bekerja lebih terbuka dan ketika menikah masing-masing sudah mempunyai harta atau bisnis. Karenanya, tak mengherankan jika kemudian perjanjian pranikah yang menyangkut harta gono-gini pun menjadi salah satu item penting.
“Tak hanya harta bawaan, tapi juga mungkin usaha atau bisnis yang asetnya besar dan menyangkut nasib banyak karyawan,” ujar Mike.
Kesepakatan menjadi penting untuk melindungi bisnis, karier, keuangan, juga kehidupan selanjutnya ketika terjadi perpisahan. Bahkan juga kematian salah satu pihak.
“Kalau harta tidak banyak, mungkin tidak pusing. Bagaimana jika sebaliknya,” ujarnya lagi.
Selain harta, bisnis, dan pengelolaan, hal lain yang masuk unsur gono-gini adalah utang.
Dia mengakui, membicarakan masalah perjanjian pranikah, termasuk harta gono-gini, belum biasa dan dianggap sensitif. Banyak yang memberikan reaksi negatif ketika diajak bicara tentang hal ini.
Dalam membicarakan masalah gono-gini, terutama dalam perjanjian pranikah, menurut Mike, penting untuk mengutamakan masalah keterbukaan, keadilan, dan proporsi. Keterbukaan di mana kedua pasangan harus mau terbuka dan jujur dengan jumlah harta atau utang yang dimiliki. Adil dan proporsional, mungkin tidak harus sama besar, tetapi sesuai dengan hak dan kewajiban yang tujuannya untuk melindungi pasangannya. Termasuk di sini adalah pengelolaan rumah tangga oleh perempuan yang tidak bekerja, harus diakui secara profesional. “Harus dibicarakan dan diakomodasi berdasarkan kesepakatan,” ujar Mike.
DIAN YULIASTUTI
Baca berita lain
Gaya Sepatu Unik
Antaran Lebaran Produk Kecantikan
Siapa Perancang Batik Tim Arsenal?