TEMPO.CO, Bantul-Kasus meninggalnya siswi baru SMKN 1 Pandak Bantul, Anindya Ayu Puspita, saat mengikuti Masa Orientasi Siswa, dianggap sebagai bukti kuat semakin maraknya tradisi kekerasan di sekolah-sekolah di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sekretaris Jenderal Persatuan Orang Tua Peduli Pendidikan (Sarang Lidi) Yogyakarta, Yuliani, mengatakan kasus itu menunjukkan fakta gamblang MOS menjadi ajang pelestarian tindak kekerasan di sekolah. "Setelah ini, acara MOS untuk siswa baru harus dihapus di semua sekolah di DIY," kata dia, kepada Tempo, Minggu, 21 Juli 2013.
Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga DIY dan Dinas Pendidikan Menengah dan Informal Kabupaten Bantul, kata Yuliani, harus bersikap tegas. Selain membubarkan MOS di semua sekolah, pengelola dan Panitia MOS SMKN 1 Pandak harus menerima sanksi keras. "Sarang Lidi akan menempuh jalur hukum, apabila hal itu tidak dilakukan. Apalagi kalau sampai kasus ini ditutupi pihak dinas," kata dia.
Dua instansi itu, menurut Yuliani, harus bertanggungjawab karena lalai menjalankan tugas pengawasan MOS, agar tidak mengarah pada aksi kekerasan perploncoan. Dia juga menyarankan, orang tua Anindya bersuara keras. Sebab, bisa jadi Anindya telah mengalami kelelahan, depresi dan tekanan psikis berat. "Sedang puasa kok disuruh baris-berbaris sampai sore, kegiatan ini mengada-ada," kata dia.
Yuliani menuding, kegiatan MOS hanya menjadi ajang banyak sekolah mencari alasan untuk menambah pungutan biaya bagi siswa baru. "Siswa baru sudah disuruh bayar, juga dibuat tertekan. Saat MOS, guru-guru di sebagian sekolah tidak mau menangani sendiri, tetapi menugasi anak OSIS. Padahal mereka menerima bayaran tambahan," kata Yuliani.
Kepala Kepala Bidang Pendidikan Menengah Kejuruan, Disdikmenof Kabupaten Bantul, Sukarjo, belum bisa memutuskan bentuk sanksi kepada pengelola SMKN 1 Pandak. Menurut dia, tim investigasi Disdikmenof Bantul masih mengumpulkan keterangan dan fakta-fakta di lapangan. "Saya sudah mengantongi nama-nama panitia," kata dia.
Dia mencurigai ada pihak luar sekolah yang mengikuti kegiatan tersebut. "Soalnya, menurut sekolah, kegiatan ini bukan MOS, tapi agenda seleksi tim Paskibraka tingkat kecamatan Pandak. Itu memang ada suratnya," kata Sukarjo.
Menurut Sukarjo, masa MOS di sekolah itu berakhir Rabu, 17 Juli 2013 lalu. Kronologi yang diterima Sukarjo dari SMKN 1 Pandak, juga tidak menyebut Anindya menjalani hukuman Squat Jump. Anindya dan belasan siswa baru lain, hanya sempat mendapat peringatan dari panitia latihan baris berbaris, karena tidak memakai seragam kaos. "Mereka diperingatkan panitia, agar tidak mengulangi, dan diminta kembali ke barisan."
Ketika kembali ke barisan, Anindya tiba-tiba pingsan. Siswi itu kemudian dibawa ke Puskesmas Kecamatan Pandak. Karena Puskesmas tidak sanggup, Anindya dirujuk ke Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Bantul. "Di sana nyawanya tidak tertolong," kata dia.
Sukarjo mempersilahkan,polisi menyelidiki kasus itu. "Kami juga akan mengevaluasi semua pelaksanaan MOS se Kabupaten Bantul, untuk menemukan fakta kekerasan lain," kata dia.
Pengakuan sekolah yang disampaikan kepada Sukarjo, berbeda dari keterangan kakak kelas Anindya, yang ikut mengantar saat dirujuk ke Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Bantul. Kakak kelas Anindya, yang juga menjadi panitia MOS itu, Dion, mengatakan, Jumat sore lalu adalah penutupan MOS. "Ada latihan baris berbaris," ujar dia.
Pada Jumat sore, ketika menjelang latihan baris berbaris, ada 20 siswa baru SMKN 1 Pandak, tidak memakai kaos olah raga, sebagai seragam wajib. Anindya dan teman-temannya dihukum melakukan squat jump sepuluh kali. Di tengah jalan, Anindya, tidak kuat karena kelelahan.
Dekan Fakultas Ilmu Keolahragaan UNY, Sudarko, menilai squat jump selama ini sudah jarang diterapkan di latihan keolahragaan. Sebab, aktivitas itu memiliki risiko besar, memunculkan cedera lutut. "Aktivitas ini tidak layak diterapkan untuk siswa sekolah," kata dia. ADDI MAWAHIBUN IDHOM
