TEMPO.CO, Jakarta - Petticoat atau kerangka yang membuat rok bawah mengembang, yang menjadi karakteristik busana perempuan abad ke-17, menjadi inspirasi bagi desainer asal Singkawang, Shinta Antonia, 24 tahun.
Gaun yang diberi nama Siluet Lampion Singkawang ini menempatkan petticoat di luar gaun yang terbuat dari sutra organza. Lampion menjadi lambang Kota Singkawang di masa kemeriahan pesta Cap Go Meh di Singkawang. Shinta, yang menetap di Jakarta, menampilkan baju pengantin ini beberapa waktu lalu dan mendapatkan pujian dari perancang dan penata rias Chenny Han.
Menurut Shinta, ia membuat gaun warna broken white dengan memperlihatkan siluet lampion sebagai lambang wanita perkasa dan lambang dari rahim wanita. ”Rahim menjadi sumber kehidupan buah hati,” kata Shinta dalam peluncuran situs www.nesabridalbeauty.com belum lama ini.
Shinta mengawali karier sebagai penata rias. Dengan menjadi penata rias, ia bisa membantu para wanita tampil cantik dan percaya diri. Shinta pernah mewakili Puspita Martha, lembaga pengajaran dan pendidikan kecantikan milik Martha Tilaar, ke Hong Kong pada 2009. Ia meraih penghargaan The Best of Country Hairstyling of Indonesia dalam L'Oreal Young Generation Color Challenge, Hong Kong. Belakangan, Shinta menjadi pengajar dan penata rias artis di beberapa stasiun televisi swasta.
Alam dan budaya Singkawang banyak memberi ide bagi dirinya dalam membuat busana unik. Ia membuat busana yang bahannya terbuat dari kulit kayu. Baju warna cokelat dihiasi elemen dari Singkawang itu diberi nama The Queen of Singkawang.
“Saya ambil dari kulit pohon mahoni di hutan Kalimantan, tempat suku Dayak tinggal,” kata Shinta. Kulit kayu itu direbus, direndam, dan dijemur supaya lentur. Setelah agak lembut, lalu dijahit, diberi aksesori dan ornamen cantik. Prosesnya sampai empat bulan.
Unsur Dayak ada pada aksesori paruh dan bulu burung ruai dari Singkawang diletakkan di kepala. “Ada sembilan bulu burung warna cokelat yang melambangkan keanggunan perempuan,” katanya. "Sedangkan corak pucuk rebung berupa segitiga yang menghiasi baju merupakan ciri etnis Melayu. Hiasan naga dan teratai pada bagian leher menjadi simbol etnis Tionghoa di Singkawang.”
Shinta belum berniat melepas busana seharga Rp 45 juta itu untuk dijual. Ia menjadikannya koleksi pribadi dan akan digunakan suatu saat nanti untuk lelang amal bagi yayasan sosial di kota kelahirannya. Lalu, apa lagi obsesinya? “Mau membuat baju dari kulit jagung,” kata Shinta.
EVIETA FADJAR