TEMPO.CO, Jakarta- “Pakailah masker, biar engkau tak menularkan kuman tuberkulosis kepada orang-orang di sekitarmu.” Pesan ini selalu ditekankan oleh Dr Erlina Burhan, Ketua Kelompok Kerja Directly Observed Treatment, Short-course (DOTS) dan TB-MDR RS Persahabatan, kepada semua pasien tuberkulosis yang dia tangani. Pesan yang sama diulangi oleh perawat dan suster yang saban hari menghadapi langsung para pasien tersebut. Masker bedah sekali pakai yang biasa dijual bebas seharga seribuan rupiah, menurut Erlina, cukup memadai dan bisa dipakai.
Anjuran memakai masker ini berlaku untuk semua derajat tuberkulosis, baik pasien yang masih sensitif terhadap pengobatan, apalagi yang sudah resisten terhadap obat lini pertama (TB MDR) dan lini kedua (TB XDR). Sebab, tanpa pengobatan, atau sedang dalam pengobatan namun Basil Tahan Asam-nya masih positif, mereka berpotensi menulari orang-orang di sekitarnya. Apapun derajatnya, literatur menyebut, pasien model begini bisa menularkan sekurang-kurangnya 10-15 orang lain di sekitarnya setiap tahun. Siapapun bisa tertular, tak peduli status ekonomi, usia dan jenis kelamin.
Baca Juga:
“Patut diingat, tuberkulosis ditularkan lewat udara, melalui percikan dahak penderita,” kata Erlina, saat ditemui Tempo, di kantornya, Selasa, 30 Juli 2013. Ketika pasien tuberkulosis batuk, bersin, berbicara atau meludah, maka kuman tuberkulosis akan terpercik ke udara. Seseorang dapat terpapar penyakit ini dengan hanya menghirup sejumlah kecil kuman TBC.
Dyah Erti Mustikawati, Kepala Sub-Direktorat Tuberkulosis, Kementerian Kesehatan, menambahkan orang yang tertular kuman tuberkulosis yang sudah resisten, baik TB MDR/XDR, jika suatu saat menderita tuberkulosis, derajatnya akan sama. “Sebab, kuman yang ada di tubuh orang tersebut adalah kuman yang sudah resisten,” kata dia kantornya, Jalan Percetakan Negara, Jakarta, Kamis, 1 Agustus 2013.
Menurut Erlina dan Dyah, orang yang terinfeksi kuman Mycobacterium tuberculosis belum tentu menjadi sakit tuberkulosis, terutama saat kekebalan tubuhnya bagus. Saat itu, kuman tidak aktif alias dormant. Namun, begitu imunitas tubuhnya drop, basil tersebut akan unjuk gigi sehingga gejala penyakit tuberkulosis muncul. Jika diagnosis sudah ditegakkan, pengobatan secara tuntas harus segera dilakukan. Cuma, waktu pengobatan TB XDR –juga MDR-- memang lebih lama. Tak cukup enam bulan seperti TB biasa, tapi butuh waktu 18-24 bulan, termasuk obat suntik saban hari selama setengah tahun.
Lantaran kumannya superbandel, angka kesembuhan TB XDR memang tak setinggi TB MDR dan TB biasa. Secara global, angka kesembuhan TB XDR adalah 40-50 persen, tergantung seberapa berat penyakitnya, status kekebalan tubuh, serta berapa banyak obat antituberkulosis lini pertama dan kedua yang sudah tak bisa lagi digunakan. Di Indonesia, angka yang ada sekarang, kesembuhannya mencapai sekitar 60 persen. Adapun kesembuhan pengobatan TB MDR berkisar 60-70 persen, dan TB biasa bisa mencapai di atas 90 persen.
Sejatinya, menurut Dyah, kunci pengendalian TB XDR bukan pada pengobatan, tetapi pada masalah pencegahan. Caranya, ya, melalui pengobatan sesuai standar, baik TB biasa maupun TB MDR, agar tak menjadi TB XDR. Selain itu, perlu diupayakan adanya pembatasan pemakaian obat-obat TB lini kedua, seperti kanamisin dan obat golongan kuinolon untuk pengobatan tuberkulosis. Sebab, bila pengobatan pasien TBC dilakukan secara asal-asalan dan tidak dimonitor secara rutin --sehingga pasien putus berobat dan obat-obat yang dipakai adalah obat TB lini kedua, maka TB XDR akan menjadi bom waktu.
Pengejaran pasien tuberkulosis yang resisten pernah dilakukan dr Priyanti Z. Soepandi dalam penelitian tesisnya di FKUI. Ia mencari alamat 9 responden yang putus berobat dari total 104 responden TB MDR/XDR yang diteliti. Temuannya, tiga pasien sudah meninggal, satu pasien mau berobat lagi hingga sembuh, dan sisanya ogah melanjutkan pengobatan atau tidak ditemukan alamat yang sebenarnya.
“Ada pasien yang tak mau meneruskan berobat karena sudah diterima bekerja dan takut ketahuan,” kata mantan direktur RS Persahabatan ini, Selasa pekan lalu, “Artinya, ia akan menjadi sumber penularan di kantornya.” Kalau sudah begini, apa boleh buat, dokter tak bisa berbuat apa-apa dan tak bisa memaksa.
Meski tak segampang membalik telapak tangan, menurut Erlina, menggugah kesadaran pasien tuberkulosis agar orang lain tak tertular dan menderita seperti dirinya tetap harus terus ditumbuhkan. Jika kesadaran itu tak ada, kata dia, “Penularan TB XDR/MDR kian menjadi dan pemberantasannya semakin sulit.” DWI WIYANA