TEMPO.CO, Jakarta - Sekolah Perempuan Mosintuwu yang didirikan Lian Gogali tak hanya merekatkan hubungan Muslim-Kristen di Poso, tapi juga menanamkan kesadaran gender. Seorang ibu menceritakan bahwa dirinya sering mengalami kekerasan dari sang suami. Sejak aktif di Sekolah Perempuan, ibu tersebut berhasil menyadarkan suaminya. Selain itu, si ibu menjadi pintar membuat kue dan mengerti cara bercocok tanam secara organik.
Ada delapan “mata pelajaran” di Sekolah Perempuan itu. Semuanya dititikberatkan pada agama, toleransi, dan perdamaian. Pelajaran tak hanya dipraktekkan di kelas, tapi juga dengan berkunjung ke masjid dan ke gereja. “Kami ingin mengurai kesalahan penafsiran yang terjadi selama ini bahwa Islam seolah-olah mengajarkan membunuh, dan orang Kristen punya tiga Tuhan,” kata Lian. (Baca: Begini Lian Gogali Meredam Konflik Agama di Poso)
Baca Juga:
Peran program membaca buku dan perpustakaan keliling Project Sophia tak kecil. Menurut Lian, Project Sophia, mencuil nama putri tunggalnya, Sophia Ava Choirunissa Gogali, 5 tahun, yang bertujuan memulihkan trauma anak-anak korban konflik. Mobil yang mengangkut buku-buku itu berkeliling ke 24 desa di Poso.
Upaya Lian mendampingi para korban konflik berawal dari perasaan “berutang” kepada ibu-ibu yang diwawancarainya saat penelitian untuk tesis kuliahnya di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Tesis itu bertajuk “Politik Ingatan Perempuan dan Anak dalam Konflik Poso”. (Baca: Lian Gogali Ubah Trauma Jadi Agen Perdamaian)
Seorang ibu di lokasi pengungsian Silanca, Kecamatan Lage, bertanya kepada Lian. “Apa yang terjadi pada kami setelah Lian pergi?” Lian tidak sanggup menjawab. Dia malah sulit tidur memikirkan pertanyaan itu. Pada 2007, dia kembali ke Poso dan menetap di Pamona. Aktif di Asian Muslim Action Network dan Poso Center, kemudian pada 2009 Lian mendirikan Sekolah Perempuan Mosintuwu untuk kaum wanita lintas agama. “Saya bisa mendapat master karena mereka.”
Lian sebenarnya juga bagian dari korban konflik Poso. Ketika kekerasan di Poso pecah dan membakar rumahnya, Lian tengah menempuh pendidikan sarjana di Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta. Akibatnya, kecamuk pada 1997 itu membuat kiriman uang dari Poso macet total. “Saya pernah menjadi pembantu rumah tangga,” katanya.
Melalui sekolah itulah para ibu mulai menjadi agen pencegah konflik. Jika ada isu yang menjurus pada kerusuhan, mereka segera berkomunikasi melalui telepon. “Kalau sudah mulai orang berkumpul, saya sampaikan itu hanya isu,” kata Asni Yati Hamidi, 32 tahun, pemeluk agama Islam dari DesaTangkura, Poso Pesisir Selatan. (Baca: Inilah Lima Tokoh yang Merekatkan Indonesia)
STEFANUS TEGUH EDI PRAMONO
Berita Lainnya:
Subki Sasaki Tak Takut Bela Ahmadiyah
Subki Sasaki, Tuan Guru Oasis Minoritas
Begini Lian Gogali Meredam Konflik Agama di Poso
Begini Cara Lima Tokoh Perekat Republik Dipilih
Lian Gogali, Perempuan di Garis Depan Poso
Inilah Lima Tokoh yang Merekatkan Indonesia