TEMPO.CO, Jakarta - Sebuah temuan menunjukkan terapi apa pun tidak akan membantu seseorang untuk mengontrol emosi jika ia masih berada dalam situasi stres. Apa yang dipelajari dalam terapi tidak akan relevan di dunia nyata ketika stres masih melanda.
“Kami telah lama menduga, stres dapat mengganggu kita untuk mengendalikan emosi. Stres dapat melemahkan terapi yang dirancang untuk mengendalikan emosi,” ujat Elizabeth Phelps, seorang profesor ilmu saraf di Universitas New York, kepada Live Science, Senin, 26 Agustus 2013.
Orang-orang biasanya menggunakan pikiran untuk mengubah emosi mereka, misalnya, ketika mereka berpikir tentang gelas yang berisi separuh air, mereka harus berpikir bahwa gelas itu setengah penuh bukan setengah kosong.
Teknik-teknik tersebut, yang disebut regulasi emosi kognitif, dapat diajarkan kepada orang-orang dalam terapi. Peserta terapi yang merasakan kecemasan dalam situasi sosial akan diminta untuk mengubah cara mereka berpikir, sehingga mereka memiliki pandangan yang berbeda, dan akhirnya memiliki respon emosional yang berbeda pula.
Pengontrolan emosi ini bergantung pada daerah otak yang disebut korteks prefrontal, kata Phelps. Namun, korteks prefrontal sangat sensitif terhadap stres. Hal ini mungkin menjelaskan mengapa strategi kognitif mungkin tidak bekerja ketika seseorang berada di bawah tekanan/stres.
Menurut studi yang dipublikasikan dalam jurnal Proceeding of National Academy of Sciences ini, pengontrolan emosi bisa saja dilakukan, asal stres bisa diredam terlebih dahulu.
LIVE SCIENCE | ANINGTIAS JATMIKA
Terhangat:
Suap SKK Migas | Konvensi Partai Demokrat | Pilkada Jatim
Berita populer:
Warga Penolak Lurah Susan Juga Akan Demo Jokowi
Jokowi Siap Jadi Mediator Keraton Solo, Tapi...
Demo Lurah Susan Digerakkan Dua Tokoh Ini
Loch Ness Tertangkap Kamera Fotografer Amatir