TEMPO.CO, Jakarta- Mohammed El-Sayed Selim pernah beberapa kali berkunjung ke Indonesia. Tapi pada kunjungan pekan lalu, ia khusus datang untuk membantu memberi penjelasan soal kontroversi peristiwa terbaru di Mesir saat demonstrasi anti-pemerintah pada 30 Juni berujung pada penggulingan Muhammad Mursi --presiden Mesir yang dipilih secara demokratis-- oleh militer pada 3 Juli lalu. Saat massa pendukung Mursi berdemonstrasi, yang dihadapi dengan keras oleh militer Mesir sehingga menewaskan sekitar 700-an orang, Pemerintah Indonesia menyampaikan keprihatinan dan minta Mesir menghormati hak berdemonstrasi secara damai.
Menurut El-Sayed, Mesir menghargai kebijakan Indonesia dibanding Malaysia yang cenderung ingin membawa sebagai masalah internasional. Ia menjelaskan antara lain soal perbedaan dan persamaan situasi Mesir saat ini dengan Indonesia tahun 1998, kenapa Mursi masih ditahan dan pemimpin Al-Ikhwan al-Muslimun ditangkap, dalam wawancara dengan wartawan Tempo, Natalia Santi dan fotografer Aditya Noviansyah di Kedutaan Besar Mesir di Jakarta, Rabu pekan lalu.
Apa yang membuat Anda diutus Kementerian Luar Negeri Mesir secara khusus untuk menjelaskan situasi di sana?
Dalam hal ini saya adalah wakil dari masyarakat sipil, bukan wakil pemerintah. Ini adalah inisiatif pribadi. Ketika saya sampaikan ke Kementerian Luar Negeri, mereka sangat mendukung. Mereka pikir akan lebih baik jika masyarakat sipil juga berperan dalam diplomasi.
Setelah revolusi 30 Juni, saya menemukan banyak kontroversi di Indonesia terkait situasi di Mesir. Banyak yang menyebut ini kudeta, 'Mesir melawan Islam', 'Islam terancam', dan sebagainya. Kesalahan persepsi ini sebenarnya sudah banyak dijelaskan dalam berbagai media di Mesir, tetapi saya merasa harus datang sendiri, bertemu langsung dengan orang-orang, akademisi, masyarakat sipil, dan orang-orang seperti Anda.
Adakah persamaan atau perbedaan yang terjadi di Mesir dengan Indonesia tahun 1998?
Persamaannya, terutama, bahwa periode transisi tidak mudah. Banyak kesulitan di sana sini. Tapi Indonesia beruntung berhasil membentuk institusi-institusi perangkat demokrasi secara konsensus di masa-masa awal transisi. Kami tidak mampu melakukannya.
Sejak Januari 2011 sampai sekarang, kami tidak punya parlemen. Tapi Anda punya parlemen, yang mampu menangani masalah ketika salah satu presiden Anda mundur. Di Mesir, ketika Mursi tidak mengelola pemerintahan dengan baik, tidak ada Parlemen yang menyelesaikan masalah ini. Satu-satunya insitusi yang ada adalah militer.
Kalian punya partai politik tradisional, yang bahkan sudah ada sejak masa pemerintahan Soeharto. Kami tidak punya. Ketika Husni Mubarak terguling, tidak ada partai politik sipil yang meneruskan proses demokrasi. Satu-satunya kelompok yang terorganisir adalah Al-Ikhwan al-Muslimun. Dan merekalah yang “mencuri revolusi”. Mereka juga mengeliminasi yang lainnya dalam revolusi itu. Karena itulah terjadi revolusi 30 Juni.
Di Indonesia, masa transisi tidak sesulit di Mesir. Tidak ada perpecahan seperti di negara kami. Tetapi Alhamdullilah, Insya Allah, semuanya akan menuju ke arah yang benar.
Saat Indonesia di masa transisi, tidak ada partai yang dilarang dan politisi yang ditangkap seperti di Mesir?
Jangan salah sangka. Al-Ikhwan masih terus kami ikutsertakan dalam transisi Mesir. Semua partai politik. Partai Keadilan dan Kebebasan masih beroperasi. Para pemimpin mereka yang ditahan karena memicu kekerasan, menggunakan senjata, dan melumpuhkan usaha rakyat, baik di Nasr City, Kairo, dan kota-kota lain. Ada juga pemimpin Al-Ikhwan yang tidak ditangkap dan mereka sekarang turut dalam proses politik. Salah satunya Muhammad Ali Bashir. Demikian pula kelompok dan partai Islam lainnya.