TEMPO.CO, Nusa Dua - Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan, Saut P. Hutagalung, mengatakan pencitraan merek atau branding untuk mutiara Indonesia jenis South Sea Pearl (SSP) atau Mutiara Laut Selatan masih minim. Pasalnya, kata dia, mutiara-mutiara ini sering diakui sebagai produksi negara lain.
"Kita butuh penguatan branding," kata Saut seusai peluncuran buku Indonesian South Sea Pearl di Nusa Dua, Bali, Sabtu malam, 7 September 2013. Menurut dia, dengan penguatan branding ini, bisa diperoleh berbagai keuntungan bagi negara termasuk dalam hal keuntungan ekonomis. "Akan menarik orang untuk langsung datang ke Indonesia," kata dia.
Selama ini, menurut Saut, mutiara ini selalu dikenali sebagai produk dari Jepang dan Hong Kong. Persoalannya karena dua negara tersebut mengimpor mutiara mentah dan mengolahnya menjadi berbagai kerajinan dan perhiasan. "Orang pikir itu mutiara Jepang dan Hong Kong," kata dia.
Saut mengakui publikasi mutiara laut masih kurang. Dengan adanya branding, kata Saut, diharapkan pembeli mutiara mengetahui Indonesia sebagai negara produsen Mutiara Laut Selatan terbesar. "Jadi dapat langsung beli mutiara ke Indonesia," ujar dia. Dengan demikian, negara mendapat pemasukan dari penjualan itu.
Indonesia tercatat sebagai produsen terbesar mutiara jenis Mutiara Laut Selatan di dunia. Sekitar 43 persen kebutuhan Mutiara Laut Selatan dunia dipenuhi Indonesia. Mutiara ini diekspor ke sejumlah negara, seperti Jepang, Hong Kong, Australia, Korea Selatan, dan Swiss. Nilai ekspor mutiara Indonesia bisa mencapai US$ 29,4 juta atau sekitar Rp 323 miliar.
NINIS CHAIRUNNISA