TEMPO.CO, Yogyakarta - Aliansi Buruh Yogyakarta (ABY) mendesak wali kota dan bupati di Daerah Istimewa Yogyakarta tidak mengikuti instruksi presiden tentang penetapan upah minimum sebagai acuan dalam penetapan upah minimum di daerahnya. “Buat apa ada dewan pengupahan kalau upah minimum mengacu pada inpres,” kata Sekretaris Jenderal ABY, Kirnadi, Rabu, 2 Oktober 2013.
Instruksi yang diteken Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, 1 Oktober itu, kata dia, menetapkan kenaikan upah per 2014 sebatas nilai inflasi. Untuk industri besar maksimal 10 persen, sementara industri padat karya serta UKM 5 persen. Dengan nilai inflasi rata-rata di bawah 10 persen, dia menilai kebijakan itu membuat upah buruh Indonesia semakin murah.
Selain itu, kata dia, inpres itu melanggar Undang-Undang Ketenagakerjaan yang mengatur penentuan upah didasarkan usulan bupati dan wali kota berdasarkan hasil survei dewan pengupahan kepada gubernur.
Dia khawatir nilai upah buruh di DIY kian terpuruk. ABY juga menuntut Gubernur Sultan Hamengku Buwono X tak menjadikan inpres sebagai dasar penentuan upah. Dia menuding terbitnya inpres menjadi bukti pemerintah berpihak pada pengusaha. Sebab, penyusunan kebijakan itu melibatkan perwakilan serikat pekerja atau buruh.
Di DIY, dewan pengupahan telah melakukan survei sejak Mei lalu untuk usulan upah minimum lima kota dan kabupaten pada 2014. Hasilnya, didapat rata-rata nilai kebutuhan hidup layak buruh di Yogyakarta Rp 2,091 juta, Sleman Rp 2,084 juta, Bantul Rp 2,067 juta, Gunungkidul Rp 1,893 juta, dan Kulonprogo Rp 1,906 juta.
Kepala Bidang Statistik Distribusi Badan Pusat Statistik DIY, Haryono, mengatakan Kota Yogyakarta mengalami deflasi 0,24 persen pada September ini.
Namun, jika dilihat perkembangannya sepanjang 2013--September 2013 terhadap Desember 2012, terjadi inflasi 6,28 persen. Sedangkan laju inflasi tahun per tahun--September 2012-September 2013--tercatat sebesar 7,60 persen.
ANANG ZAKARIA