TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta Iwan Setiawandi mengatakan warung tegal alias warteg memang bukan objek pajak yang potensial. Alasannya, kebanyakan omzet warung makan ini kecil, jauh dari batas dikenai pajak, yaitu Rp 200 juta per tahun. "Jika tetap ditarik paling penerimaan pajaknya hanya Rp 60 miliar, bahkan di bawah itu," kata Iwan pada Senin, 7 Oktober 2013.
Iwan mengatakan angka ini tidak signifikan jika pemerintah DKI ngotot untuk tetap menarik pajak dari warteg yang jumlahnya memang ribuan. Hanya, Iwan melanjutkan, pemerintah bisa saja menarik pajak kepada warteg yang memiliki omzet di atas Rp 200 juta per tahun. "Dasar hukumnya tertuang dalam Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2011 tentang Pajak Restoran."
Dalam perda ini, objek pajak restoran adalah usaha penyedia makanan atau minuman, termasuk katering, yang memiliki omzet di atas Rp 200 juta per tahun. "Mereka akan dikenakan pajak 10 persen," katanya.
Menurut Iwan, sejak perda tersebut disahkan oleh Mantan Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo, belum pernah dilakukan penarikan pajak kepada warteg kecil. Oleh karena itu, Iwan melanjutkan, sejak awal Dinas langsung menarik pajak kepada rumah makan skala besar.
Iwan mencatat ada 9.000 rumah makan di DKI Jakarta yang masuk kategori wajib pajak. "Rumah makan ini memiliki omzet dagang di atas Rp 200 juta per tahun. "Ini yang akan kami kejar karena potensinya besar," ujarnya.
Dinas mencatat saat ini pendapatan pajak yang sudah terealisasi mencapai Rp 17,601 triliun atau 78 persen dari target Rp 22,578 triliun. "Dari sektor hotel, restoran, dan hiburan menyumbang Rp 2 triliun. Paling besar dari restoran.
SYAILENDRA