TEMPO.CO, Solo - Pemerintah Kota Surakarta mewajibkan pegawai mengenakan seragam batik tiga hari sepekan. Peraturan ini akan diterapkan tahun depan. Selama ini kewajiban itu hanya dua kali sepekan. "Batik merupakan warisan budaya yang telah diakui oleh dunia," kata Wakil Wali Kota Surakarta, Achmad Purnomo, Rabu 9 Oktober 2013. Apalagi, katanya, Surakarta merupakan salah satu penghasil batik yang terkenal.
Pengadaan seragam batik itu dianggarkan Rp 5 miliar dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah tahun depan. Seragam itu akan diberikan kepada sekitar 10 ribu pegawai. "Dampak ekonomi yang dihasilkan bisa berlipat," ujar Achmad. Dia yakin kebijakan itu bisa menghidupkan perajin batik di Kota Surakarta.
Anggaran sebesar itu akan dipakai untuk membeli bahan batik printing. "Tentu saja bukan batik tulis maupun batik cap," katanya. Sebab, batik tulis dan batik cap lebih mahal dan butuh waktu pemesanan. Achmad yakin banyak pengusaha batik kelas kecil yang mampu memproduksi batik printing.
Tapi keputusan itu dikritik perajin batik. “Mesin untuk membuat batik printing hanya dimiliki pengusaha berskala besar,” ujar Wakil Ketua Forum Pengembangan Kampung Batik Laweyan, Gunawan Muhammad Nizar. Perajin kecil tak akan merasakan manfaat keputusan itu. "Seperti biasa, mereka (perajin batik) hanya akan jadi penonton."
Selain itu, katanya, keputusan itu salah kaprah. "Batik printing itu hanyalah produk tekstil bermotif batik, tak jauh beda dengan tekstil motif batik asal Cina," katanya. Dia menjelaskan, batik menekankan pada proses pembuatan motif dengan memakai lilin atau malam dan pewarna. "Yang namanya batik itu harus jenis batik tulis dan batik cap."
Dia menyarankan pemerintah kota mewajibkan pegawai berpakaian batik tanpa perlu berseragam. Alasannya, pegawai bisa memilih jenis batik sesuai kemampuan. "Pegawai rendah bisa menggunakan batik printing," katanya. Tapi, pegawai golongan tertentu bisa memakai batik tulis atau batik cap. "Dampaknya justru terasa bagi perajin kecil." Sebab, sebagian dari karyawan memilih batik asli, bukan batik printing.
AHMAD RAFIQ