TEMPO.CO, Bogor--Kepala Balai Besar, Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Pertanian Bogor pada Kementrian Pertanian, Dr Muhrizal Syarwani , M.Sc mengingkatkan warga dan Pemerintah Jakarta untuk mengawasi dan memperketat pelaturan pemerintah daerah (Perda) penggunaan Air Bawah Tanah (ABT) di wilayah Jakarta.
Pasalnya dalam kurun beberapa tahun terakhir telah terjadi penurunan permukaan tanah terutama di wilayah Jakarta Utara.
"Sudah ada penurunan permukaan tanah di Jakarta setinggi 5 hingga 10 sentimeter dan tidak bisa dipungkiri jika penurunan tersebut akan kembali terlihat signifikan dalam kurun lima tahun mendatang, " ungkap Muhrizal Syarwani, saat menghadiri acara Konferensi Internasional Pertanahan untuk pangan dan energi, di IICC Bogor Senin 21 Oktober 2013.
Ia mengatakan, salah satu tanda adanya penurunan tanah tersebut yakni sering terjadinya banjir ROB di wilayah Jakarta dan banjir yang melanda di wilayah Jakarta meski hujan sebentar. "Ini salah satu dampak dari berlebihanya penggunaan air bawah tanah oleh perusahaan-perusahaan dan perkantoran di Jakarta," tutur dia.
Menurutnya, salah satu cara untuk memantau dan pembatasan pemakian air bawah tanah tersebut yakni pemerintah DKI Jakarta harus membuat Pelaturan Daerah (Perda) memperketat penggunaan ABT setiap gedung dan perusahaan. "Cara lainya yakni semua gedung yang ada di Jakarta harus menampung curah air hujan dan mengembalikan (membuang)_ air tersebut langung ke tanah salah satunya cara dengan membuat lobang untuk penyerapan air hujan," kata dia.
Salah satu cara lainya yakni dengan membuat kebijakan pembuatan waduk di wilayah penyangga Jakarta yakni Bogor yang berguna sebagai penahan banjir juga persediaan air baku untuk wilayah Jabodetabek. "Namun kami merekomendasikan agar pembangunan waduk tersebut tidaklah seperti sistem waduk Jatiluhur melainkan waduk yang memeiliki bebera DAM air, agar tidak membayakan masyarakat sekitar," tutur dia.
Sementara itu Ketua Panitia Konferensi Internasional Pertanahan Budi Mulyono, mengatakan kegiatan tersebut diikuti oleh puluhan ahli tanah di 11 negara Asia Tenggara dan Asia Timur, ditambah oleh Australia, Kanada dan Amerika Serikat, "Semua ahli tanah ini untuk merespon berbagai tantangan hidup yang dihadapi oleh bangsa-bangsa se Asia Timur, Tenggara yang berkaitan dengan lahan gambut sebagai persediaan bahan pangan dan energy di dunia," kata dia.
Menurut dia, sebagian besar Negara salah paham jika persoalan yang dihadapi seperti masalah emisi gas rumah kaca, pemanasan global, dan kelangkaan pangan dan energy di lahan gambut.
"Kita dituding sebagai penghasil nitrogen karena dampak dari lahan gambut akan tetapi jika dapat dikelola secara berkelanjutan maka akumulasi karbon (carbon sink) secara positif dengan melakukan pengelolaan air yang tepat dengan eco-hydro-system ditambah dengan pengelolaan tanah dan penanaman pohon akasia dapat menambat nitrogen di udara menjadi urea secara alami," kata dia
M SIDIK PERMANA
Baca juga:
Ahok Minta Perbaikan Jalan Rampung Sehari
Gatot Sangkal Bunuh Holly, Polisi: Bukti Cukup
Ini Motif Bentrok Anggota TNI Vs Brimob di Karaoke
Di Australia, Gatot Terlihat Gusar