TEMPO.CO, Yogakarta - Tiga akademisi dari Universitas Negeri Yogyakarta dan Universitas Gadjah Mada berencana mengajukan gugatan uji materi terhadap Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 24 Tahun 2010 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Rektor pada Perguruan Tinggi yang diselenggarakan oleh pemerintah. Ketiganya yakni Suharno, dosen Fakultas Ilmu Sosial UNY; Samodra Wibawa, dosen FISIPOL UGM; dan Ariswan, dosen FMIPA UNY.
Ketiganya sebenarnya berencana mengajukan gugatan uji materi itu ke Pengadilan Negeri Kota Yogyakarta pada Jumat, 25 Oktober 2013, tapi batal. Suharno mengatakan, sebenarnya ada Surat Edaran Mahkamah Agung mengenai tata cara uji materi peraturan di bawah undang-undang yang menyatakan pengajuan gugatan bisa melalui PN. “Tidak jadi karena pihak PN Yogyakarta merasa belum siap menjalankan tata cara baru itu. Kami akan langsung ajukan ke MA pekan depan,” kata Suharno seusai membatalkan rencananya mengajukan gugatan lewat PN Yogyakarta.
Suharno mengatakan, gugatan uji materi ini mempermasalahkan bunyi Pasal 6 ayat 2 huruf E pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 24 Tahun 2010. Menurut dia, isi ketentuan di dalamnya bertentangan dengan prinsip penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia, yang harus otonom dan demokratis, seperti tertuang dalam Pasal 4 ayat 1 UU Nomor 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003. “Salah satu isi Permen tadi yang kami gugat ialah pemberian kuota suara 35 persen terhadap Mendikbud dalam pemilihan rektor, ketua, atau direktur lembaga pendidikan tinggi milik pemerintah,” ujar Suharno.
Ia mengatakan, ketentuan ini mengintervensi otonomi kampus karena membuat suara sidang majelis senat tertutup dalam pemilihan rektor hanya memiliki porsi suara 65 persen. Menurut dia, aturan ini membuat posisi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dominan meskipun hanya merupakan representasi satu pejabat pemerintah. “Mendikbud itu pejabat yang dipilih oleh Presiden yang memiliki kewenangan politik, jadi aturan itu membuat kepentingan politik masuk kampus,” ujar dia.
Dalam prakteknya, Suharno mengatakan, banyak penentuan posisi pemimpin tertinggi kampus negeri ditentukan oleh kedekatan calon dengan pejabat menteri. Menurut dia, situasi ini berakibat buruk terhadap kampus karena pemilihan rektor tidak bisa berjalan sesuai proses yang terukur dari standar profesionalitas. “Standarnya kedekatan dengan pejabat menteri, baik soal asal daerah, kelompok, maupun personal,” kata Suharno.
Dia tidak menyebut kasus efek buruk pelibatan peran Mendikbud dengan porsi suara besar dalam proses pemilihan rektor kampus negeri. Suharno hanya mencatat banyak kasus membuktikan sejumlah calon rektor atau ketua kampus negeri petahana suka meningkatkan jumlah acara yang mengundang kedatangan Mendikbud begitu masa pemilihan akan berlangsung. “Lobi politik yang berjalan bukan seleksi berdasar kemampuan,” kata dia.
Akibat buruk lainnya, menurut Suharno, pemberian suara dominan terhadap Mendikbud dalam pemilihan rektor juga diduplikasi dalam peraturan banyak kampus negeri dalam pemilihan dekan. Kata dia, suara rektor sebagai pemimpin tertinggi manajemen kampus menentukan calon dekan yang terpilih. “Ini memperluas praktek politisasi dalam proses pemilihan pimpinan di tingkatan fakultas. Profesionalitas semakin jarang diperhatikan, tapi unsur kedekatan dengan atasan yang menentukan,” ujar dia.
ADDI MAWAHIBUN IDHOM