TEMPO.CO, Malang - Biaya operasional Politeknik Kota Malang (Poltekom) membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Malang. Setiap tahun, Kota Malang mengucurkan dana sebanyak Rp 1,8 miliar. Dana dipasok selama lima tahun terakhir sejak berdiri pada 2008. "Kualitas tak meningkat, hanya akreditasi C," kata Ketua Komisi Kesejahteraan Rakyat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Fransiska Rahayu Budiwiarti, Senin, 4 November 2013.
Dana tersebut digunakan untuk peningkatan fasilitas serta profesionalisme dosen. Namun, sejauh ini tak ada perkembangan signifikan pada politeknik yang dibentuk berdasarkan nota kesepahaman antara Pemerintah Kota Malang dan Kementerian Pendidikan pada 2008 itu. Sumber pendanaan Poltekom yang berasal dari Kota Malang sebanyak 30 persen sedangkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara melalui Kementerian Pendidikan menyumbang 70 persen.
Untuk itu, DPRD Kota Malang membentuk panitia khusus rancangan peraturan daerah tentang Poltekom. Hasilnya, muncul tiga pilihan yakni Poltekom dikelola Badan Layanan Umum, diserahkan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, atau dikelola yayasan yang berada dib awah naungan Pemerintah Kota Malang.
"Selama ini di bawah naungan Dinas Pendidikan Kota Malang, sulit berkembang," kata Ketua Pansus Ranperda Poltekom, Lookh Makhfudz. Jika tanggung jawab diserahkan ke DIKTI, katanya, akan menjadi Politeknik Negeri. Sedangkan Pemerintah Kota Malang tak perlu campur tangan terhadap penyelenggaraan pendidikan tersebut.
Poltekom, katanya, merupakan salah satu dari 14 politeknik nasional yang didirikan secara serentak pada 2008. Direktur Poltekom, Supandi menyerahkan kebijakan kepada DPRD dan Wali Kota Malang. "Apa pun bentuknya terserah pemerintah daerah," katanya.
Poltekom Malang membuka tiga jurusan, antara lain Mekatronika, Informatika, dan Telekomunikasi. Pendidikan diploma satu dan diploma tiga memiliki jumlah mahasiswa sekitar 600 mahasiswa dengan jumlah dosen sebanyak 25 orang.
Kepala Dinas Pendidikan Kota Malang, Sri Wahyuningtyas menjelaskan, Poltekom tak bisa memenuhi standar pelayanan yang ditentukan DIKTI. Selain itu, pendidikan tak berkembang karena dari 25 dosen yang mengajar, hanya 3 rangyang berpendidikan pascasarjana. "Selebihnya bergelar sarjana," katanya.
Namun, ia berjanji meningkatkan fasilitas dan kualitas program pendidikan.
EKO WIDIANTO