TEMPO.CO, Jakarta - Zonasi wilayah laut menjadi fokus pemerintah untuk mewujudkan pengelolaan kelautan dan perikanan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Sistem pengelolaan ini dipilih karena perairan di wilayah Indonesia barat sudah mengalami overfishing, sedangkan di wilayah timur banyak terjadi illegal fishing.
"Harus diciptakan kawasan konservasi yang di dalamnya ada zonasi untuk mengakomodasi nelayan," kata Kepala Sub-Direktorat Kelautan dan Perikanan Bappenas, Setiawati, seusai acara seminar "Thought Leadership Forum" yang diselenggarakan The Nature Conservancy (TNC) di Hotel Gran Mahakam, Jakarta, Kamis, 14 November 2013.
Melalui sistem zonasi, wilayah laut akan dibagi menjadi beberapa bagian sesuai peruntukan seperti halnya kawasan taman nasional. Bagian-bagian itu antara lain zona inti, penangkapan ikan, ekoturisme, dan situs budaya. "Zonasi membantu pemanfaatan dan pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan," ujarnya.
Country Director TNC, Rizal Algamar, mengatakan pemerintah menargetkan zonasi laut mencapai 20 juta hektare pada 2020. "Saat ini 16 juta hektare sudah dipenuhi," kata dia. Dari jumlah itu, TNC berperan serta dalam pembentukan zonasi laut seluas 6 juta hektare di wilayah Indonesia timur.
Ia mengatakan zonasi laut diperlukan agar nelayan menangkap ikan di wilayah yang tepat. Melalui penelitian, wilayah laut dapat dipetakan ke dalam beberapa zonasi yang berkaitan dengan keberadaan ikan. Zona pemijahan, misalnya, menjadi lokasi yang terlarang untuk kegiatan penangkapan ikan karena dapat mengganggu siklus populasi dan stok ikan pada masa mendatang.
Zonasi laut menjadi penting karena tren saat ini menunjukkan nelayan semakin kesulitan memperoleh ikan. Bahkan nelayan harus memacu perahunya semakin jauh ke tengah lautan sehingga ongkos menangkap ikan lebih besar dibanding hasil tangkapan ikannya. "Secara ekonomis ini tidak memungkinkan nelayan untuk bertahan," ujar Rizal.
Director of External Affairs TNC, Sapto Handoyo Sakti, mengatakan sistem zonasi laut sudah diterapkan di Nusa Tenggara Timur. Tim peneliti TNC memperkenalkan sistem zonasi dan memberdayakan masyarakat nelayan di sana. Sektor industri perikanan juga digandeng supaya hanya menerima ikan hasil tangkapan dari zonasi yang tepat. "Zona pemijahan tidak boleh diganggu," ujarnya.
Dengan sistem ini, nelayan yang hanya menjaring ikan di zona penangkapan dapat menjual hasil tangkapannya ke industri perikanan yang berkelanjutan. Mereka akan memperoleh harga yang lebih baik sebagai semacam insentif karena telah menerapkan sistem menangkap ikan yang ramah lingkungan.
Isu kelautan menjadi salah satu fokus utama dalam forum KTT APEC 2013 di Nusa Dua, Bali, pada Oktober lalu. Kondisi geografis negara-negara anggota APEC yang memiliki garis pantai membuat forum sepakat untuk memprioritaskan isu-isu yang berhubungan dengan laut.
"Sudah sepakat di APEC dan mulai tahun depan sudah masuk mekanisme kerjanya," kata Direktur Kerja Sama Intra Kawasan Asia Pasifik dan Afrika Kementerian Luar Negeri, Arto Suryodipuro.
Ia mengatakan APEC sudah 10 tahun membahas isu kelautan. Namun perhatian terhadap isu kelautan semakin besar sejak World Ocean Conference dan Coral Triangle Summit tahun 2009.
Isu kelautan, Arto melanjutkan, tidak hanya seputar kebersihan laut, ketahanan pangan, dan perubahan iklim. Pengembangan pariwisata, sumber energi, dan transportasi berbasis kelautan juga mendapat perhatian. "Lebih banyak penduduk tinggal di daerah pesisir dan kegiatan ekonomi berbasis kelautan," ujarnya.
MAHARDIKA SATRIA HADI