TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah maskapai penerbangan mengeluarkan kebijakan internal Embargo On Shipment All Kind Shark Fin atau embargo terhadap pengiriman semua jenis sirip hiu dalam penerbangannya. Di Indonesia, Garuda Indonesia mengeluarkan kebijakan embargo dan mulai efektif diberlakukan tanggal 8 Oktober 2013.
Melalui kebijakan tersebut, Garuda Indonesia bergabung dengan sejumlah maskapai penerbangan yang telah lebih dahulu menghentikan pengiriman produk-produk sirip hiu, seperti Air New Zealand, Cathay Pacific, Emirates Airlines, Fiji Airways, dan Korean Air.
"Kebijakan ini merupakan wujud komitmen Garuda Indonesia untuk mendukung kampanye anti-perdagangan hiu #SOSharks yang diinisiasi oleh WWF-Indonesia,” kata Direktur Utama Garuda Indonesia Emirsyah Satar.
Dalam rilis yang diterima Tempo, Jumat, 15 November 2013, WWF-Indonesia memberikan apresiasi atas kebijakan embargo yang dikeluarkan Garuda Indonesia. "Hal ini merupakan langkah positif yang patut dicontoh oleh perusahaan lainnya, termasuk maskapai penerbangan, restoran, hotel, dan supermarket yang terlibat dalam perdagangan hiu,” ujar Direktur Konservasi WWF-Indonesia Nazir Foead.
Sebelumnya, setiap tahun Garuda Indonesia memfasilitasi pengiriman sebanyak 36 ton kargo bermuatan produk-produk sirip hiu. Dengan mengeluarkan kebijakan embargo ini, Garuda Indonesia berkontribusi pada upaya pengurangan perdagangan sirip hiu di pasar global.
Selain itu, sejak 2012 Garuda Indonesia juga telah memberlakukan embargo dengan tidak menerima pengangkutan satwa mamalia hidup, seperti lumba-lumba dan harimau. Maskapai pelat merah ini juga memberlakukan bagasi tercatat untuk pengiriman hewan mamalia peliharaan, seperti anjing dan kucing, kecuali untuk service animal.
Hiu telah diperdagangkan dalam berbagai bentuk, tidak hanya sirip keringnya saja. Setidaknya 1,14 juta ton produk hiu diperdagangkan secara global setiap tahunnya. Padahal hiu adalah spesies yang populasinya terancam punah dan lambat reproduksinya.
Melonjaknya jumlah permintaan sirip dan produk-produk hiu lainnya menyebabkan terjadinya penangkapan besar-besaran terhadap satwa ini. Data FAO (2010) menunjukkan Indonesia berada pada urutan teratas dari 20 negara penangkap hiu terbesar di dunia.
Kampanye anti-konsumsi hiu berhasil mendapatkan dukungan di sejumlah negara, seperti Cina dan Australia. Pemerintah Cina, misalnya, memutuskan tidak lagi menghidangkan sup sirip hiu di acara kenegaraan. Australia bahkan melarang praktek pengambilan sirip hiu dengan cara yang kejam (shark finning).
Di Indonesia, Kementerian Kelautan dan Perikanan bersama lembaga lainnya termasuk WWF terus mendorong upaya penetapan National Plan Of Action (NPOA) untuk mengelola kelestarian sumber daya hiu di perairan Indonesia.
MAHARDIKA SATRIA HADI