TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Importir Daging Indonesia, Thomas Sembiring, mengatakan bahwa Indonesia masih membutuhkan impor sapi dari Australia. Menurut dia, terlalu prematur untuk mengaitkan kasus penyadapan yang mengganggu hubungan diplomatik dengan hubungan ekonomi kedua negara.
“Impor sapi masih dibutuhkan karena ada beberapa faktor. Kalau kasus penyadapan dikaitkan dengan penghentian hubungan dagang, masih terlalu jauh,” katanya kepada Tempo di Jakarta, Kamis, 21 November 2013.
Thomas mengatakan, sulit bagi Indonesia untuk mendapatkan sapi impor yang bebas penyakit dari negara lain. “Tidak mudah mendapatkan sapi dari negara lain yang bebas penyakit sesuai aturan.”
Indonesia bisa saja mengimpor sapi dari Brasil dan Argentina, ujarnya, tapi sapi dari kedua negara tersebut belum bebas penyakit. Sedangkan Selandia Baru tidak memperbolehkan ekspor sapi . Negara itu hanya memperbolehkan ekspor daging.
Kebutuhan akan sapi bisa saja dipenuhi dari sapi produksi dalam negeri. Tapi, menurut dia, penggunaan sapi lokal hanya akan menguras jumlah sapi-sapi yang sebenarnya dibutuhkan untuk mencapai target swasembada sapi pada 2014.
Thomas mengatakan harga sapi sekarang juga masih tinggi. Nilai tukar rupiah terhadap dolar yang mencapai Rp 11.700 menyebabkan harga sapi melambung. Jika impor sapi dari Australia dihentikan, Thomas menilai harga sapi bukan tidak mungkin akan semakin melonjak.
“Kurs nilai tukar rupiah terhadap dolar stabil di level yang tinggi, yaitu Rp 11.700, kebutuhan Cina akan impor sapi dari Australia juga membuat harga sapi sekarang tinggi di pasaran. Jadi harga memang sedang tinggi,” katanya.
ANANDA TERESIA