TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti senior Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Yeni Sucipto mengecam penggunaan uang negara dalam penyelenggaraan Konferensi Tingkat Menteri WTO di Bali bulan depan. Apalagi, dia berpendapat, uang itu digunakan untuk membiayai sebuah perundingan yang justru akan merugikan rakyat. "WTO merampas kedaulatan anggaran kita," ujarnya dalam konferensi pers, Ahad, 24 November 2013.
Yeni menyatakan dirinya belum mendapat data rinci anggaran yang akan dikeluarkan oleh Kementerian Perdagangan untuk membiayai pertemuan tersebut. Namun, sebagai pembanding, pertemuan 21 petinggi negara dalam Konferensi Tingkat Tinggi APEC Oktber lalu menghabiskan anggaran tak kurang dari Rp 352,88 miliar. "Untuk WTO yang mengundang 159 menteri saya kira tak akan kurang dari itu," ujarnya.
Tak hanya menyoal anggaran pertemuan, Yeni juga menyatakan bahwa Paket Bali, yang bertujuan menyelesaikan sebagian isu kunci dalam Putaran Doha, masing-masing: Trade Facilitation, LDCs package, dan Agriculture tak akan memberikan keuntungan bagi negara-negara berkembang.
Menurut Yeni, melalui ketiganya, arus barang dan jasa dari negara maju akan lebih mudah masuk ke negara berkembang dan kurang berkembang, termasuk ke Indonesia. Bahkan, negara berkembang terancam kehilangan kesempatan meningkatkan produksi pangan domestiknya bila negara maju menolak proposal pemberian subsidi pertanian dan cadangan pangan yang diusulkan oleh G33 yang disponsori India.
Yeni mencatat berbagai subsidi spesifik rakyat miskin (subsidi pangan, pupuk, benih, minyak goreng, dan kedelai) cenderung mengalami penurunan. Seperti yang terlihat pada penurunan alokasi subsidi non-energi dari 4,67 persen (Rp 57,4 triliun) pada tahun 2011 menjadi 2,84 persen (Rp 40,3 triliun) pada tahun 2012.
Baca Juga:
Bahkan, saat pemerintah mencabut subsidi BBM 2008, yang seharusnya dikompensasi dengan naiknya subsidi non-energi, justru alokasinya ikut mengalami penurunan dari 5,3 persen menjadi 4,64 persen. Satu-satunya kenaikan subsidi non-energi hanya terjadi di tahun 2010 sebesar 5,5 persen, setelah itu terus turun. "Bahkan, subsidi minyak goreng dan kedelai telah dihapus sejak tahun 2008 lalu," kata Yeni.
Kebijakan pemerintah ini, kata Yeni, sangat berkorelasi dengan agenda WTO yang melakukan penghapusan terhadap subsidi domestik. Pemerintah telah nyata-nyata melakukan beberapa pengurangan subsidi, bahkan menghapus beberapa subsidi untuk rakyat sejak tahun 2008. "Hal ini mengakibatkan impor bahan baku seperti kedelai, beras dan lainnya semakin merajalela hingga menyebabkan rapuhnya perekonomian nasional kita," kata Yeni.
Berbeda dengan Indonesia, negara-negara maju justru terus memperbesar subsidi di sektor pertaniannya. Sebagai ilustrasi, di 2010 saja, subsidi pertanian di Amerika Serikat mencapai US$ 130 miliar. Begitu pun di Uni Eropa, yang memberikan subsidi mencapai US$ 106 miliar di 2009.
Oleh karena itu, Yeni mengecam keputusan buruk pemerintahan Susilo Bambang Yudhono yang bersedia menjadi tuan rumah dan berkomitmen melanjutkan negosiasi perdagangan bebas multilateral dalam kerangka WTO di Bali nanti. Keputusan-keputusan buruk yang akan dihasilkan akan memberikan dampak negatif bagi rakyat Indonesia dan menjadi beban bagi pemerintahan pasca-Pemilu 2014. "Lebih daripada itu, pertemuan WTO di Bali jelas merupakan ancaman bagi keberlanjutan kehidupan petani, nelayan, dan menambah angka kemiskinan," katanya.
Selain itu, Yeni juga mendesak pemerintah untuk menghentikan praktek pengurangan subsidi-subsidi rakyat. Pemerintah, menurut dia, harus lebih berpihak pada pembangunan sektor pertanian, kelautan dan perikanan, serta pengembangan industri nasional.
PINGIT ARIA