TEMPO.CO, Surakarta - Pemahaman tentang ekonomi Islam di Indonesia dinilai hanya sebatas perbankan syariah. Padahal, ujar pakar ekonomi syariah Syafii Antonio, ekonomi Islam atau ekonomi syariah ada di semua bidang kehidupan masyarakat.
”Salah kaprah kalau menganggap ekonomi Islam hanya di perbankan dan keuangan,” kata dia, sebelum menjadi pembicara dalam Seminar Nasional Kemitraan Strategis dan Jejaring Usaha pada Pesantren, di Surakarta, Senin, 25 November 2013.
Baca Juga:
Menurut dia, jika ekonomi Islam hanya diaplikasikan di perbankan dan keuangan, maka benar jika proporsinya hanya 5 persen dari total perputaran uang. Namun, angka yang lebih besar akan didapat jika menyertakan bidang usaha di luar perbankan dan keuangan.
Misalnya, dia memberi contoh, manufaktur, farmasi, obat, kosmetik, perhotelan, hingga properti. “Semua bisa menjadi bagian dari ekonomi Islam. Contohnya, untuk hotel tidak lagi menyediakan minuman alkohol dan tamunya terseleksi,” ujarnya.
Sekarang ini tantangan terbesarnya adalah memberi pemahaman kepada masyarakat bahwa ekonomi Islam punya jangkauan luas. ”Ini program jangka panjang,” katanya.
Guru Besar Ekonomi Islam Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga Surabaya, Suroso Imam Zadjuli, menilai menerapkan ekonomi Islam tidak perlu teori berbelit-belit. “Amalkan sesuai yang tercantum dalam Al-Quran dan hadis,” kata dia, dalam kesempatan yang sama.
Dia mencontohkan, jika sebuah pesantren ingin berbisnis, tujuannya tidak mencari untung, melainkan bekerja untuk kehidupan akhirat. Maka, bisnis dilakukan secara hati-hati dan jujur. “Misal mau buka usaha pertanian, buka saja. Tidak perlu memikirkan untung rugi, kapan modal kembali dan sebagainya,” katanya.
UKKY PRIMARTANTYO
Terpopuler
SBY Pernah Diperingatkan Waspadai Yusril
Ini Tingkah Jokowi Diteriakin, 'Nyapres Pak!'
Farhat: Menabrak, Dosa AQJ Tak Akan Habis
Survei: Tokoh Islam Tak Mampu Saingi Jokowi