TEMPO.CO, BANDUNG - Menteri Perindustrian Mohamad Suleman Hidayat mengatakan tenaga kerja akan menjadi sektor paling rawan bagi Indonesia menjelang penyelenggaraan ASEAN Economic Community (AEC) yang akan berlangsung kurang dari dua tahun lagi. "Yang rawan buat kita untuk AEC adalah tenaga kerja," katanya saat menghadiri Forum Bisnis Akselerasi Ekonomi Jawa Barat di Bandung, Sabtu, 29 November 2013.
Menurut dia, permasalahan yang sering ditemui adalah banyak tenaga kerja yang terampil tapi tidak memiliki sertifikat kompetensi. Hidayat menilai jika tidak memiliki sertifikat itu, buruh yang sebenarnya memenuhi syarat tersebut tidak akan diberi label kompeten dan akhirnya akan kalah saing oleh tenaga kerja asing lain.
"Semua buruh harus ada sertifikasi kompetensi. Kalau tidak nanti kompetitor tenaga kerja dari negara ASEAN lain berbondong-bondong datang ke Indonesia. Waktu kita tinggal dua tahun lagi jadi kalau tidak disiapkan dari sekarang, tenaga kerja Indonesia tidak akan siap bersaing," katanya.
Staf Ahli Bidang Sumber Daya Industri dan Teknologi Kementerian Perindustrian, Dyah Winarni Poedjiwati, mengatakan ada 12 sektor yang akan diprioritaskan untuk diintegrasikan dalam AEC. Dua belas sektor tersebut terdiri atas 7 sektor barang dan 5 sektor jasa. Tujuh sektor barang tersebut antara lain industri agro, industri perikanan dan produk perikanan, industri tekstil, furnitur, makanan dan minuman, logam dasar, serta baja dan besi. Sementara itu, 5 sektor jasa yang akan berintegrasi dalam AEC adalah layanan jasa, turisme, perjalanan udara, layanan logistik, dan elektronik.
Dyah menilai jika sektor industri ini sudah berintegrasi, tenaga kerja Indonesia harus berhadapan langsung dengan tenaga kerja asing dari negara-negara ASEAN lain. Menurut dia, standarisasi harus segera dilakukan untuk menjaga daya saing tenaga kerja. "Harus distandarisasi agar skilled labour kita bisa mencapai level ASEAN. Tenaga kerja pada sektor lain juga harus kita bentengi," katanya.
Ekonom Forum Ekonomi Jawa Barat, Ina Primiana, mengatakan pengusaha harus terlebih dahulu memperbaiki hubungan dengan buruh. Hal ini, kata dia, untuk meminimalisasi sengketa atau demonstrasi yang sering terjadi di Indonesia. Menurut dia, konflik internal jangan sampai menghambat persaingan Indonesia dengan negara ASEAN lain.
"Kalau hubungan antara pengusaha dan pekerja tidak harmonis, bagaimana bisa produktif. Ini tidak bisa diserahkan hanya pada pengusaha dan pekerja. Pemerintah sebagai regulator harus turut campur dan menyiapkan agar iklim usaha kondusif," katanya.
ANANDA TERESIA