TEMPO.CO, Jakarta - Langit malam menutup kawasan Taman Suropati, Menteng, Jakarta Pusat. Ketika itu pukul enam sore. Lampu taman baru saja menyala. Puluhan orang berkumpul di sayap barat taman, tidak jauh dari pancuran air. Tubuh mereka membentuk formasi lingkaran. Masing-masing memegang biola atau cello sambil menatap buku partitur berpenyangga. Komposisi klasik karya Antonio Vivaldi, Opus 3, L'Estro Armonico, pun mengalun. "Setiap pekan, kami berlatih di sini," ujar Fanny Tsalasa, 23 tahun, Ketua Komunitas Taman Seni (Kotaseni), Sabtu dua pekan lalu.
Sudah lima tahun komunitas itu berdiri. Saban pekan, tak kurang dari 50 anggota komunitas ini memanfaatkan taman seluas lapangan sepak bola itu untuk berlatih musik. Tidak hanya biola atau cello, instrumen musik modern pun kadang mereka mainkan. Sesi latihannya dimulai sejak sore hingga malam. Anggota mereka berasal dari berbagai kalangan, dari mahasiswa hingga pegawai kantoran. Komunitas ini bahkan punya divisi tersendir yang memfasilitasi minat terhadap sastra dan seni rupa. "Setiap tiga bulan, kita bikin pameran di sini," ujarnya.
Kotaseni adalah satu di antara banyak komunitas yang kerap memanfaatkan Taman Suropati sebagai ajang berkumpul. Berbagai komunitas lain, seperti Komunitas Indonesia Pizza Spinning dan Komunitas Otter Indonesia, juga bisa ditemui di sini. Denyut aktivitas mereka ikut menghidupkan suasana taman dari pagi hingga malam. Siapa pun bisa ikut, asalkan punya hobi yang sama. Bagi sebagian warga Jakarta, menghabiskan waktu di akhir pekan bersama komunitasnya bisa jadi pilihan yang menyenangkan.
Taman dan ruang publik merupakan habitat bagi berbagai komunitas. Di sanalah mereka berkumpul, berbagi wawasan, dan berkarya sambil menghabiskan waktu di akhir pekan. Pameran instalasi yang digelar komunitas Lensa Pagi, dua pekan lalu di kawasan Kota Tua, merupakan contoh lain. Meski acara bersifat temporer, anggota komunitas penggemar fotografi ini bahkan ada yang berasal dari pulau seberang. "Kebetulan saya lagi mau belajar fotografi di sini," ujar Aryanda Septian, 22 tahun, anggota komunitas Lensa Pagi dari Sumatera Utara.
Kegiatan seni hanyalah satu pilihan. Banyak cara lain yang dijalani warga Jakarta untuk mengisi waktu libur. Jika berminat pada wisata sejarah dan budaya, Anda bisa bergabung dengan Komunitas Historia Indonesia. Sejak berdiri pada 2003, komunitas ini menggelar berbagai wisata edukatif dengan cara yang tidak lazim. Suatu waktu, mereka pernah menggelar Tour de Busway. Para anggotanya diajak naik bus Transjakarta koridor Blok M-Kota dan singgah di sebelas tempat bersejarah yang tidak jauh dari haltenya.
Gedung Arsip, yang pernah berfungsi sebagai kantor Gubernur Hindia Belanda, dan bangunan kuno berarsitektur Cina, Chandra Naya, yang saat ini terkurung di dalam bangunan sebuah hotel di kawasan Gajah Mada, adalah sebagian di antara tujuan wisata mereka. Di setiap tempat yang mereka singgahi, para pemandu akan menjelaskan berbagai aspek sejarahnya. Kegiatan ini tentu memberi pengalaman yang mengesankan. Terlebih bagi mereka yang masih duduk di bangku sekolah dasar dan menengah, karena pengetahuan mengenai hal itu tidak akan mereka temui di buku pelajaran.
Yang cukup unik adalah kegiatan Night at The Museum. Ini adalah wisata sejarah ke berbagai museum pada malam hari, seperti Museum Bank Indonesia dan Museum Gajah. Untuk mengikuti kegiatan tersebut, setiap peserta diharuskan membawa berbagai perlengkapan, seperti senter, pakaian yang hangat, dan krim antinyamuk. Semua itu diperlukan karena wisata ini diadakan pada malam hari dengan udara yang dingin dan pencahayaan yang minim. Meski acara ini terkesan angker, jumlah peminatnya mencapai ratusan orang.
Bagi Anda yang tidak punya cukup nyali untuk ikut kegiatan itu, komunitas One Day Traveling mungkin bisa dipertimbangkan. Komunitas yang berdiri sejak 2011 ini mengajak anggotanya menjelajahi lokasi-lokasi wisata di luar Jakarta. Aturan mainnya: tempat itu harus bisa mereka jangkau dengan kendaraan umum dan dinikmati dalam waktu satu hari. "Banyak pegawai kantoran di Jakarta yang sulit mendapatkan waktu libur. Maka, kami buat jadi satu hari," ujar Ari Suharto, 48 tahun, penggagas One Day Traveling.
Aktivitas komunitas ini sangat terukur. Lokasi tujuan harus bisa dijangkau oleh kereta dan bus dalam radius maksimal enam jam. Itu pun mesti dijalani bersama-sama. Tidak boleh ada satu pun anggota mereka yang punya agenda berbeda. Semuanya harus disepakati di awal. Untuk memudahkan mobilitas di kota tujuan, komunitas ini membangun jaringan dengan sejumlah tukang ojek. Merekalah yang berfungsi sebagai pemandu dan mengantar anggota komunitas ini ke tempat-tempat wisata yang telah disepakati.
Kota-kota seperti Cianjur, Garut, Cirebon, dan Purwokerto pernah mereka sambangi. Meski waktunya terbatas, mereka tetap bisa menikmati banyak kegiatan. Saat berkunjung ke Cirebon, misalnya, komunitas ini sempat berkunjung ke Gua Sunyaragi dan berbelanja di toko Batik Trusmi sambil menikmati makanan khas daerah tersebut: nasi jamblang. Salah seorang anggota mereka bahkan pernah ulang-alik ke Medan hanya untuk menikmati makanan khas di sana. "Sayangnya, tidak semua mampu seperti dia," ujar Ari.
ISMA SAVITRI
Berita Terpopuler Lainnya:
Empat Tempat Makan Favorit Chef Winnie
Bandung Gelar Pameran Fashion Era 80-an
Jakarta Gelar 'Kampung Betawi di Kota Tua'
Baru, Lesehan Buku di Malioboro Yogyakarta