TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Pemasaran Inisiatif Transformasi World Wild Fund (WWF) Indonesia Irwan Gunawan mengatakan, jumlah perkebunan kelapa sawit yang ada di Indonesia sekitar 13,5 juta hektare. Angka ini melebihi angka dalam data Kementerian Pertanian per Desember 2012 yang mencatat total luas perkebunan sawit Indonesia sebesar 9,27 juta hektare.
“Pemerintah sangat lemah mengontrol pembukaan lahan baru. Contohnya saja di Riau, WWF memprediksi terdapat 25 persen kebun yang berada di kawasan yang memang tidak diperuntukkan untuk kelapa sawit. Empat puluh delapan persen masih berada di areal yang belum jelas legalitasnya,” kata Irwan pada Media Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO), Kamis, 5 Desember 2013.
Menurut Irwan, pemerintah sudah mengharuskan tiap pihak yang membuka lahan memiliki Surat Tanda Budidaya Perkebunan (STBP). Namun, pelaksanaan di lapangan masih sangat lemah. Irwan berpendapat, kurangnya koordinasi di kalangan pemerintah daerah menjadi salah satu faktor kuat penyebab buruknya pengawasan.
“Dalam konteks deforestasi sendiri, mungkin realitasnya di lapangan jauh lebih buruk dibanding data resminya. Lagi-lagi ini kelemahan pengawasan kita. Kita tidak tahu pasti,” kata Irwan.
Dalam masalah lingkungan, isu yang tengah hangat adalah adanya konflik antara satwa dan pengelola kebun sawit di daerah Sumatera. Hewan-hewan seperti gajah, harimau, dan orang utan mulai terdesak oleh pembukaan lahan, terutama untuk perkebunan masyarakat. “Oleh masyarakat, satwa-satwa ini dianggap sebagai hama."
November lalu, WWF baru saja mengumumkan hasil investigasi terhadap perusahaan yang melakukan perambahan lahan sawit di Taman Nasional Tesso Nilo, Riau. Investigasi yang dilakukan dengan penyamaran tersebut menghasilkan dokumentasi berupa foto dan video. Pemantauan WWF hingga 2012 menunjukkan bahwa 52.266,5 hektare lahan hutan di Tesso Nilo telah beralih menjadi kebun sawit, 15.714 hektare di antaranya termasuk kawasan taman nasional.
Direktur RSPO Indonesia Desi Kusumadewi mengatakan, prinsip dan kriteria terbaru yang dihasilkan konferensi RSPO ke-11 di Medan, 12 November 2013, lalu memang lebih memperkuat persyaratan mengenai pengelolaan lingkungan. Pembukaan perkebunan kelapa sawit baru harus bisa meminimalisasi emisi gas rumah kaca.
“Perusahaan perlu melakukan tes untuk menguji ketersediaan karbon. Apakah lahan yang akan ia gunakan memiliki stok karbon yang tinggi? Sebab jika tidak, maka bagaimana mungkin perkebunan sawit ini memiliki emisi gas rumah kaca yang minimal sampai ke depannya?” kata Desi.
TRISTIA RISKAWATI