TEMPO.CO, Kwatisore - Di Kwatisore, perairan Taman Nasional Teluk Cendrawasih, Papua, tim Tempo (penulis Wahyuana Wardoyo dan fotografer Rully Kesuma) bertemu hiu paus dalam perjalanan pada Oktober lalu. Mulut hiu paus menyeringai menakutkan. Namun badannya yang bergerak pelan membuatnya terlihat menggemaskan. “Sepanjang tidak mengganggu, mereka tidak berbahaya. Jangan menyelam dekat ekor, bisa kena kibasan ekor ketika mereka bergerak, juga jangan membawa bunyi-bunyian, pendengarannya sensitif,” ujar Bram Muaranaya yang sejak 2006 sudah melayani wisata selam hiu paus di Kwatisore.
Peralatan selam pun disiapkan. “Ini penyelaman tanpa dasar, bouyancy (kemampuan mengapung) harus bagus,” ujar Rudy Setiawan, dive master. Peringatan yang membuat saya grogi. Biasa menyelam pada kedalaman 20-35 meter, kini harus menyelam di lautan dengan kedalaman 50-100 meter. Jantung saya berdegup.
Dengan backroll, saya turun dari kapal. Sialan. Arus laut rupanya sedang deras. Setiap mencoba mendekat ke hiu paus, selalu terseret menjauh. Pada penyelaman kedua, situasi lebih tenang. Saya menyelam pada kedalaman 3 meter dan memilih berpegangan pada salah satu tiang bagan. Posisi ini membuat saya leluasa memotret dan mengamati gerak gerik ikan dari jarak dekat.
Kali ini ada empat ekor hiu paus--terbesar panjangnya 6 meter, terkecil 3 meter. Menurut teori, anak hiu paus biasanya lahir berukuran 80 sentimeter dan setiap tahun rata-rata bertambah panjang 20 sentimeter. Saya perkirakan umur mereka antara 20 hingga 26 tahun.
Mulut hiu paus lebar dan mampu mengisap segala benda. Mendekatinya, saya meletakkan kepalan tangan di samping mulut. Wow..., daya sedotnya luar biasa kuat. Apa saja benda di sekitar mulut akan diisap tanpa ampun. “Jika merasa yang terisap itu bukan makanannya, biasanya akan disemburkan lagi,” ujar Bram. Melayang di atas ekornya, tinggi tubuh saya yang 1,68 sentimeter hanya seperempat dari tubuh hiu paus sebesar MetroMini itu. (Baca Edisi Khusus Surga Wisata Indonesia)
TIM TEMPO | AMIRULLAH