TEMPO.CO, Ankara - Oposisi Turki menuduh Perdana Menteri Recep Tayyip Erdogan menjalankan pemerintahan "deep state" atau "negara di dalam negara" dengan mengganti menteri kabinet dengan para loyalisnya. Di antara 10 loyalis yang menjadi menteri baru, terdapat Efkan Ala, mantan gubernur Provinsi Diyarbakir. Dia akan mengisi posisi Menteri Dalam Negeri yang ditinggalkan Muammer Guler untuk menjaga keamanan negara.
"Erdogan sedang mencoba untuk mengumpulkan kabinet yang tidak akan menunjukkan penentangan kepadanya. Dalam konteks ini, Efkan Ala memiliki peran penting, " kata Kemal Kilicdaroglu, Ketua Partai CHP, oposisi terbesar di Turki, Kamis, 26 Desember 2013.
Pekan lalu, Erdogan mencopot dan memutasi 70 pejabat polisi senior di Ankara dan Istanbul. Mereka adalah polisi yang mengusut kasus korupsi yang melibatkan 52 orang dekat Erdogan. Di antaranya: tiga anak menteri, pengusaha, wali kota, serta birokrat Kementerian Ekonomi dan Penataan Kota. Kasus yang disangkakan adalah penyuapan dalam penjualan emas ilegal ke Iran serta suap dan korupsi sejumlah proyek infrastruktur.
Selain menghabisi polisi yang tidak mendukungnya, Erdogan juga menyerang sekutu dekatnya di Partai AK, Fethullah Gulen. Gulen dikenal memiliki jaringan yang kuat di kepolisian, jaksa, dan birokrat pengadilan.
Erdogan, kata Kemal, ingin tetap memperkuat pemerintahannya dan menghilangkan adanya check and balance. Menurut dia, Efkan bukan anggota parlemen seperti anggota kabinet lainnya, namun dia dikenal sangat dekat dengan Erdogan.
Pengantian Menteri Dalam Negeri, kata sumber politikus Turki, akan menjadi langkah Erdogan untuk mengontrol polisi dan protes kepada pemerintah. "Siapa yang akan Anda percaya selain wakil Anda, yang telah bekerja sama selama bertahun-tahun," kata satu sumber pemerintah.
REUTERS | EKO ARI