TEMPO.CO, Bandung--Program kerja Wali Kota Bandung Ridwan Kamil dalam mengatasi banjir melalui lubang resapan biopori, dinilai salah langkah. Pecetus metode resapan air biopori Kamir R Brata mengatakan, semestinya Ridwan mendahulukan perkantoran yang dinilai lebih sulit dipasangi lubang biopori, ketimbang di pemukimanan warga.
Alasannya, kata Kamir, butuh pekerjaan ekstra untuk dapat melubangi permukaan tanah yang sudah dibeton. "Karena permukaan tanah yang kering, maka sebaiknya pemerintah mendahulukan daerah perkantoran dari pada daerah pemukiman," kata Kamir, saat ditemui Tempo di Sasana Budaya Ganesha, Bandung. Ahad, 29 Desember 13. Resapan biopori sendiri merupakan lubang pada tanah dengan diameter 10 sentimeter dan kedalaman kurang lebih 100 cm. Fungsinya, menurut Kamir, adalah menyerap debit air berlebih, dan memberikan makanan bagi hewan pembuat biopori " jika lubang ditanami sampah-sampah organik.
Adapun hal lain yang menjadi kritik bagi Ridwan, menurut Kamir, adalah kurangnya sosialisasi. Dia menyebutkan, masih banyak warga yang melubangi tanahnya dengan kedalaman melebihi batas air tanah. Misalnya, dia mencontohkan, warga sering melubangi tanah lebih dari satu meter, sehingga membuka jalur air tanah. Hal itu berdampak pada lubang biopori yang tidak subur karena hewan tanah tidak mampu membuat lubang dengan genangna air.
Sama halnya pada daerah Cipamokolan, Kecamatan Riung Bandung, Kota Bandung. Menurut pantauan Tempo disana, masih banyak masyarakat yang awam dengan membuat lubang pada solokan. Hal tersebut serupa dengan keterangan Kamir, dimana lubang biopori menjadi sia-sia dan tidak subur karena tergenang air.
Program kerja Pemerintah Kota Bandung tersebut, berhasil memproduksi 266 ribu lubang biopori dalam waktu 5 hari. Jumlah tersebut diperoleh melalui sayembara dan iming-iming kunjungan wisata ke beberapa tempat di Kota Bandung. "Ini sebuah proses yang luar biasa. Dalam setahun, Kota Bandar Lampung pun tidak dapat menyamai percepatan ini, padahal sudah hampir satu tahun," ujar Kamir.
Kendati demikian, jumlah tersebut dinilai masih kurang untuk mengatasi ancaman banjir di Kota Bandung. Kamir melanjutkan, kota Bandung membutuhkan sekitar 500 lubang biopori di tiap kavling di Kota Bandung. Adapun saat ditanya dampak negatif yang ditimbulkan dari pembuatan lubang ini, menurut Kamir, hingga saat ini Dosen di Institut Pertanian Bogor itu belum menerima keluhan dari pengguna metode biopori yang dibuatnya.
Serupa dengan Emil " sapaan akrab Ridwan Kamil. Menurutnya, program kerja tersebut baru berjalan sekitar 48 persen. "Dari 151 kelurahan di Kota Bandung, baru 143 kelurahan yang membuat lubang biopori," ujar dia. Dia menjelaskan, lubang biopori tersebut tidak sepenuhnya dapat menangani banjir, "Hanya meminimalisir."
Untuk menangani banjir di Kota Bandung, kata Emil, membutuhkan 5 program kerja yakni, memperbanyak gorong-gorong, memuat danau kecil, membuat sumur resapan, mendaur ulang air dan membuat lubang biopori secara massal. Adapun program lubang biopori didahulukan karena biayanya yang murah. Sementara 4 program lainnya akan dilakukan secara bertahap 5 tahun kedepan.
"Lubang ini merupakan program Corporate Social Responsibility," ujar Emil. Beberapa perusahaan yang dilibatkan dalam pemasangan biopori secara massal ini antara lain adalah Bank BJB dan PT Telekomunikasi Indonesia (PT Telkom). Jika program lubang biopori tersebut berhasil mencapai jumlah yang mumpuni dalam mencegah banjir, kata Emil, pihaknya pun akan mewajibkan perkantoran, mall, instansi pemerintahan dan sekolah agar membuat lubang serupa.
PERSIANA GALIH
Terpopuler:
Haul Gus Dur, Butet Mengolok-Olok Prabowo?
Sutarman: Ucapan Gus Dur Manjur
Kecelakaan Maut Probolinggo, 15 Tewas
Kata Rhoma, Jokowi yang Mengajaknya Duet