TEMPO.CO, Jakarta - Sentimen negatif yang datang baik dari dalam maupun luar negeri membuat rupiah kembali tergelincir ke kisaran 12.200 per dolar Amerika Serikat (Baca: Rupiah Kembali Jeblok). Dalam transaksi pasar uang hari ini, rupiah terdepresiasi tajam 57 poin atau 0,47 persen.
Pelemahan ini mengikuti tekanan jual yang juga terjadi di pasar berkembang lainnya. Tekanan jual yang tejadi di pasar finansial dalam negeri turut memicu pelemahan nilai tukar. Pasar saham mengalami koreksi tajam dua hari berturut-turut dan imbal hasil obligasi tenor 10 tahun telah menembus level 9 persen.
Analis pasar uang dari PT Platon Niaga Berjangka, Lukman Leong, mengatakan berbagai sentimen negatif telah menghantam rupiah. Penguatan dolar di pasar berkembang juga sulit untuk dibendung. "Pelaku pasar khawatir membaiknya ekonomi AS membuat rencana pemangkasan stimulus (tapering off) dipercepat," katanya.
Meski neraca perdagangan November mengalami surplus, inflasi tahunan yang masih tinggi membuat pertahanan rupiah tetap jebol. Inflasi year-on-year 8,38 persen sangat jauh dari harapan pelaku pasar, bahkan jauh di atas angka tingkat suku bunga. Inflasi menjadi salah satu risiko yang paling ditakuti pelaku pasar finansial karena tingginya inflasi akan menekan imbal hasil investasi.
Di sisi lain, tidak konsistennya kebijakan pemerintah juga tidak disukai oleh investor. Lukman mencontohkan kebijakan kenaikan harga elpiji kemasan 12 kilogram yang plinplan. Kemudian, kebijakan larangan ekspor bahan mineral mentah. "Pada saat kita sedang memacu ekspor, kebijakan larangan ekspor justru kontraproduktif," kata Lukman.
Baca: Rupiah Sempat Diperkirakan Terus Menguat
PDAT | M. AZHAR
Terpopuler
Setelah Jokowi, Endriartono Sindir Erick Thohir
Alasan Utama Ahok Emoh Tinggal di Rumah Dinas
Saksi: Teroris Dayat Ditembak dari Jarak 1 Meter
Ini Bisnis Istri Polisi yang Kehilangan Berlian