TEMPO.CO , Jerussalem: Menteri Luar Negeri Amerika Serikat John Kerry mengawali pekan pertama tahun 2014 dengan mengunjungi Timur Tengah. Ia melawat ke sejumlah negara di kawasan ini, tapi agenda utamanya adalah membahas masa depan pembicaraan damai antara Israel dan Palestina yang perkembangannya tak terlalu menggembirakan.
Ini adalah kunjungan ke-10 Kerry ke kawasan ini, untuk memastikan perundingan yang dimediasi AS ini mencapai kesepakatan April mendatang. Perundingan damai, yang menjadi prioritas utama kebijakan luar negeri Kerry, dimulai lagi Agustus 2013 lalu setelah mandeg selama tiga tahun.
Sejak Agustus 2013, setidaknya 20 kali tim negosiasi dua pihak bertemu, tapi hasilnya jauh dari memuaskan. Israel memang sudah membebaskan puluhan tahanan Palestina, tapi sikapnya yang terus membangun pemukiman baru di daerah pendudukan mengganjal pembicaraan damai. Sembilan warga Palestina dan tiga warga Israel tewas ditembak sejak wmpat bulan lalu.
Israel dan Palestina memberikan penilaian suram atas kemajuan pembicaraan damai ini. Sejumlah analis malah menyebut upaya tak kenal lelah ini sebagai 'mission impossible'. Tapi, eks senator partai Demokrat ini tetap optimistis dan mengatakan bahwa ini "bukan mission impossible (misi yang tak mungkin berhasil)".
Saat mulai menjabat menteri luar negeri di pemerintahan kedua Barack Obama, 2013 lalu, Kerry memperingatkan bahwa solusi damai dua negara 'Israel-Palestina' bisa hilang. Solusi Kerry berpijak pada pembagian Yerusalem menjadi dua bagian: Yerusalem Barat menjadi ibukota Israel, Yerussalem Timur sebagai ibukota Palestina.
Dalam kunjungan terbaru ini, 3-5 Januari 2014, Kerry juga memperingatkan bahaya bagi Israel jika perundingan damai ini gagal. "Apa Israel ingin ada intifada ketiga?" kata Kerry, dalam wawancara dengan TV Channel 2 Israel, Sabtu 4 Januari lalu. Intifada pertama meletus tahun 1987, kedua tahun 2000. Ia juga mengkhawatirkan adanya peningkatan isolasi internasional terhadap Israel.
Berbeda dengan sebelumnya, kali ini Kerry membawa proposal perdamaian. Meski isi persisnya belum diumumkan terbuka, sejumlah sumber mengatakan, proposal itu meliputi dua isu krusial: ditoleransinya kehadiran militer Israel di Lembah Yordan di Tepi Barat dan adanya pengakuan Palestina atas Israel sebagai negara Yahudi.
Para pejabat Palestina mengakui bahwa Kerry menekankan soal pengakuan tersebut saat bertemu Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas. "Kami membuat sikap jelas bahwa kami tak akan menandatangani perjanjian yang mengakui Israel sebagai negara Yahudi," kata seorang pejabat Palestina.
Pemimpin Palestina berkeyakinan, jika mereka memberi pengakuan seperti itu, hak-hak sekitar 1,5 juta warga Arab yang ada di Israel akan hilang dan itu juga akan melemahkan klaim sekitar 5 juta pengungsi dan keturunannya untuk mendapatkan "hak kembali" ke rumah yang sekarang berada di Israel. Mereka jadi pengungsi setelah negara Israel berdiri tahun 1948.
Israel kemungkinan menerima pengakuan garis batas pra-perang 1967, sebelum mencaplok Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Jerussalem Timur. Namun Israel menyatakan tak akan menandatangani perdamaian jika membahayakan keamanan negaranya. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu juga mengatakan, jika ada kesepakatan, itu juga harus disetujui rakyatnya.
Di tengah perbedaan sikap dua kubu, Kerry masih optimistis. "Waktunya akan tiba ketika dua pemimpin harus membuat keputusan yang sulit. Kami mendekati titik itu," kata Kerry.
Selang sehari setelah Kerry meninggalkan Israel, Pemerintahan Netanyahu mengumumkan tender pembangunan 1.400 rumah baru, termasuk di Yerusalem Timur. Sekretaris Jenderal Peace Now, Yariv Oppenheimer, menyebut langkah ini "Bisa merusak upaya perdamaian dan menghancurkan langkah Kerry." Peace Now adalah organisasi pemantau aktivitas pembangunan pemukiman baru untuk warga Yahudi.
Reuters | Time | Digital Journal | Daily Telegraph | CBS News | Abdul Manan