TEMPO.CO, Yogyakarta - Khamim Nur Mutiah menyatakan rajin memeriksa sudut-sudut sepi di sekolahnya. Guru Sekolah Luar Biasa Negeri (SLBN) Pembina Yogyakarta ini kerap khawatir ada siswa dan siswinya, yang mayoritas tuna grahita, berduaan. Dia bermaksud mencegah muridnya dari kasus Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD). “IQ kurang, tapi seksualitasnya normal,” kata Khamim kepada Tempo.
Bagi Khamim, mengajar siswa tuna grahita butuh pendekatan per-individu. Kemampuan nalar siswanya beragam dan perlu penjelasan sesering mungkin. Khusus siswa perempuan, Khamim perlu banyak waktu mengajarkan perawatan rutin alat reproduksi. Dia juga sering mengingatkan agar mereka menjauhi kontak fisik dengan lawan jenis yang normal. “Potensi pelecehan seksual selalu ada. Di luar sekolah, keluarga wajib berperan,” kata dia.
Baca Juga:
Namun, Aktivis Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel (SIGAB) Yogyakarta Purwanti berpendapat masalah seksualitas difabel kompleks. Pemberian materi kesehatan reproduksi belum banyak membantu menghindari kejahatan seksual. “Difabel lemah secara hukum, sosial dan ekonomi,” kata dia.
Purwanti menemukan banyak kasus pemerkosaan pada difabel justru diabaikan oleh keluarga, publik, serta penegak hukum. Padahal, di sejumlah kasus itu, pelaku datang dari lingkungan sekitar korban, mulai kenalan, teman, tetangga, saudara, ayah hingga kakek. Pekerjaan pelaku pun beragam. Ada kuli, wiraswasta, guru, pegawai, PNS, militer dan lainnya. “Ekonomi dan pendidikan pelaku bukan ukuran,” kata Purwanti.
Dia pernah mengawal penuntasan tujuh kasus kekerasan seksual pada difabel sampai persidangan. Hukuman penjara bagi pelaku beragam, yakni tiga tahun hingga 16 tahun. “Namun, putusan itu muncul setelah ada gerakan advokasi intensif dan pemberitaan media,” kata dia.
Sejumlah kasus yang sampai ke persidangan itu tersebar di Surakarta, Cilacap, Boyolali dan Sukoharjo. Korbannya berusia delapan tahun, belasan dan 20-an tahun. Ada tuna netra, tuna rungu dan penyandang retardasi mental. Di DIY juga ada banyak kasus, tapi keluarga korban kerap menutupinya.
Menurut Purwanti, persepsi umum terhadap difabel masih “nyinyir.” Fungsi fisik yang tidak normal membuat difabel jarang diposisikan sebagai manusia utuh. Pelecehan seksual difabel tidak dilaporkan karena dianggap aib keluarga atau korban sengaja ditelantarkan.
Purwanti juga tak jarang menemukan keluarga yang memilih melakukan sterilisasi pada rahim korban karena sempat hamil akibat pemerkosaan. Padahal, efek pemerkosaan ke difabel bisa trauma berat atau malah memicu hasrat seksualnya agresif. “Apabila tidak ada rehabilitasi, peluang siklus kejahatan seksual terulang besar sekali,” kata Purwanti.
Oleh karena itu, dia mengatakan pengadilan perlu tegas memberikan sanksi berat ke pelaku. Perintah penyediaan fasilitas rehabilitasi korban dari pengadilan semestinya mengikuti putusan itu. Sayangnya, putusan macam ini jarang sekali dikeluarkan oleh hakim.
Purwanti berpendapat jaringan advokasi yang luas penting dibentuk untuk menangani banyak kasus kejahatan seksual pada difabel perempuan. “Pakar hukum yang bersedia menjadi saksi ahli juga dibutuhkan sekali kehadirannya,” kata dia.
Upaya ini untuk menyiasati ganjalan di sistem hukum. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHP) belum sensitif disabilitas. Paling kentara, ada di pasal kesaksian. “Polisi, jaksa dan hakim juga terbiasa tekstual.”
Akibatnya, Purwanti mengeluhkan saksi difabel kerap diabaikan karena tidak masuk kategori kesaksian penuh, yakni yang mampu melihat, mendengar dan mengalami. Pembuktian kejahatan seksual pada difabel gampang terhambat ketika kesaksian hanya dari korban dan sesama penyandang disabilitas.
“Kesalahan fatal lain masih sering terjadi. Polisi gemar berasumsi korban berhubungan saling suka karena diperkosa sampai hamil atau berulang,” kata Purwanti. Asumsi seperti ini, menurut Purwanti, juga merugikan korban tuna rungu yang susah berteriak atau tuna netra yang mudah ketakutan. Di lain pihak, ibu-ibu dengan parapreglia atau putus syaraf tulang ekor sehingga organ pusar ke bawah mati rasa terus kesulitan melaporkan suaminya yang memaksa hubungan seks.
Direktur Indonesian Court Monitoring (ICM), Tri Wahyu, mengatakan pernah memantau persidangan kasus pemerkosaan siswi difabel di Sukoharjo dengan terdakwa gurunya di awal 2013. Hakim baru menjatuhkan hukuman pidana sekitar delapan tahun ke pelaku ketika ada keterangan dari satu saksi normal. “Padahal, keterangan saksi difabel lain sudah banyak,” kata dia.
Selain mendorong reformasi hukum, dia berpendapat penguatan pemahaman hakim agar menafsirkan ketentuan hukum secara progresif mendesak. Wahyu menilai Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial perlu segera terlibat. “Isu ini akan kami bawa di rapat koordinasi nasional Koalisi Pengadilan Bersih pada Maret mendatang,” kata dia.
Secara umum, menurut Direktur Pusat Studi Hak Asasi Manusia (PUSHAM) UII, Eko Riyadi, resonansi isu hukum yang responsif difabel belum meluas. Buktinya, wacana ini tidak masuk dalam RUU KUHP dan KUHAP yang sedang dibahas DPR RI.
Hasil riset PUSHAM UII di Yogyakarta, Surakarta, dan Makassar yang rampung bulan lalu, menyimpulkan mayoritas polisi, jaksa dan hakim tidak memahami isu hak difabel. “Paling parah ada di jaksa dan polisi. Makanya, banyak kasus mandeg di laporan,” kata Eko.
Eko mengatakan ada persoalan serius di KUHP dan KUHAP berkaitan dengan hak-hak difabel. Posisi difabel sebagai korban, saksi, maupun pelaku didefinisikan tidak tepat. Sebagai saksi, peran difabel terbatasi mengingat statusnya dianggap tidak cakap hukum. “Sering menjadi persoalan bagi tuna netra dan tuna rungu,” kata dia.
Penjelasan khusus mengenai penanganan tuna grahita malah tidak ada. Faktanya, difabel retardasi mental dengan fisik dewasa memiliki daya nalar setara anak kecil. Menurut Eko, begitu ada korban, penanganan di Kepolisian hingga persidangan semestinya diatur secara khusus.
Eko mencontohkan pernah menemukan kasus pemerkosaan tuna grahita usia dewasa di Kulonprogo baru-baru ini. Korban pulang ke rumah dengan ekspresi biasa meskipun alat kelaminnya luka parah. Tak ada pengaduan dari keluarga sehingga sulit mendorong polisi memprosesnya. “Kasus ini layak dianggap pemerkosaan pada anak. Diproses tanpa delik aduan dan hukuman pelaku sepertiga lebih berat dari ketentuan,” kata Eko.
Ketua Organisasi Handicap Nusantara (Ohana), Risnawati Utami, menilai pemerintah Indonesia lamban menyikapi pembengkakan populasi difabel. Dua tahun lalu, pemerintah meratifikasi Convention on the Rights of Disabled People (CRPD) atau Konvensi Hak Difabel, tapi RUU Penyandang Disabilitas baru masuk Prolegnas di awal 2014.
Padahal, perlindungan dan pelayanan kesehatan untuk seksualitas difabel yang buruk berefek pada demografi masa depan. Risnawati menduga jumlah penduduk difabel di suatu daerah sering berbanding lurus dengan angka kematian ibu dan bayinya. Sebanding juga dengan penambahan balita difabel. Hal ini karena kesehatan ibu hamil dengan kondisi disabilitas jauh lebih rentan dari perempuan normal. “Belum ada riset untuk membuktikan indikasi ini. Nusa Tenggara Timur (NTT) atau Gunungkidul layak diteliti,” kata Risnawati.
ADDI MAWAHIBUN IDHOM