TEMPO.CO , Jakarta:- Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mencatat, sepanjang Januari 2014, ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil / CPO) dan turunannya hanya 1,57 juta ton. Jumlah tersebut turun sebesar 454,6 ribu ton atau 22,5 persen dibandingkan dengan Desember 2013 yang mencapai 2,02 juta ton.
"Penurunan ekspor CPO kita dipengaruhi melimpahnya stok minyak nabati dunia," kata Direktur Eksekutif Gapki, Fadhil Hasan saat dihubungi, Ahad 23 Februari 2014.
Fadhil menjelaskan, pada Januari lalu, stok CPO Indonesia dan Malaysia masih melimpah akibat produksi meningkat pada akhir tahun lalu. Hujan yang mengguyur belakangan ini telah mengakhiri masa kering di Brazil dan Paraguay. Hal ini sangat menguntungkan kedua negara tersebut sehingga panen kedelai tercatat meningkat sesuai harapan. Menurut laporan Organisasi Pangan Dunia (FAO), stock rapeseed di Kanada juga melimpah karena ekspor yang melambat diikuti oleh stock biji bunga matahari di region Laut Hitam yang juga tercatat melimpah.
Melimpahnya stok minyak nabati dunia itu mempengarui jumlah permintaan dari negara-negara importir sawit utamma. Akibatnya, pesanan untuk CPO Indonesia pun ikut berkurang. "Hampir semua turun, kecuali Amerika Serikat," kata Fadhil.
Ia mencatat, ekspor ke India tercatat turun tajam hingga mencapai 54 persen dari 568.3 ribu ton Desember 2013 menjadi 261.4 ribu ton dan penurunan ini terjadi pada produk turunan CPO. Turunnya ekspor ke India karena pemerintah India telah menerapkan kenaikan pajak impor refined oil dari 7,5 persen menjadi 10 persen. Hal ini dilakukan untuk melindungi industri refinery di dalam negeri yang saat ini terpakai di bawah 40 persen dari total kapasitas terpasang yang ada.
Penurunan ekspor cukup signifikan juga terjadi ke negara Pakistan. Penurunan tercatat sekitar 41,6 persen dari 116,2 ribu ton Desember 2013 menjadi 67,9 ribu ton di Januari 2013. Penurunan juga diikuti negara Uni Eropa sebesar 17 persen dan Cina sebesar 2 persen. Penurunan ekspor juga dipengaruhi telah diberlakukan anti dumping duties oleh Uni Eropa terhadap biodiesel asal Indonesia and Argentina. Khusus untuk Indonesia sendiri, mandatori BBN telah memberikan peluang yang baik bagi industri biodiesel Indonesia yang berbasis CPO untuk mengalihkan pasar biodiesel ke pasar domestik.
Di saat beberapa negara tujuan utama ekspor CPO Indonesia mengurangi permintaannya, Amerika Serikat justru mencatat peningkatan permintaan akan CPO dan turunannya sebesar 6,7 ribu ton (22,5 persen) dari 29,9 ribu ton pada Desember 2013 menjadi 36.6 ribu ton di Januari 2014.
Dari sisi harga, Fadhil menyatakan, "Fakta melimpahnya stok menimbulkan sentimen negatif yang menyebabkan harga minyak nabati dunia melemah dan tertekan."
Fadhil menyatakan, harga rata-rata CPO pada Januari 2014 turun sekitar 5 persen dari US$ 909.6 per metrik ton Desember lalu menjadi US$ 865 per metrik ton pada Januari. Harga CPO tidak terjerembab tajam dikarenakan adanya program mandatori bahan bakar nabati (B-10) pemerintah yang telah efektif berlaku sejak September tahun lalu sehingga penyerapan CPO sebagai bahan pencampur diesel meningkat.
Harga diharapkan akan membaik seiring dengan stock CPO Malaysia dan Indonesia yang akan mulai berkurang. Harga hingga pertengahan Februari tercatat bergerak dikisaran US$ 860-925 per metrik ton.
Sementara, Kementerian Perdagangan menetapkan Bea Keluar CPO pada Februari sebesar 10,5 persen. "Bea keluar itu dihitung dengan harga referensi rata-rata CPO US$ 880.42 dan Harga Patokan Ekspor US$ 809 per metrik ton," kata Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Bachrul Chairi.
PINGIT ARIA