TEMPO.CO, Yogyakarta - Penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) kasus korupsi pupuk bersubsidi oleh Kejaksaan Tinggi Daerah Istimewa Yogyakarta berbuntut panjang. Adanya surat kematian palsu tersangka Edy Sumarno--yang ternyata saat ini masih hidup--membuat Kejaksaan mengadakan penyelidikan internal karena penerbitan SP3 itu diduga melibatkan pegawai Kejaksaan.
Mantan pengacara Edy, Susantio, diperiksa tim Kejaksaan Tinggi Daerah Istimewa Yogyakarta, Senin, 24 Februari 2014. Ia diperiksa sebagai saksi karena menjadi pengacara Edy saat awal-awal ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi pupuk bersubsidi di Sleman.
Baca Juga:
"Saya diperiksa sebagai saksi, tapi saya tidak pernah mendampingi tersangka saat diperiksa oleh Kejaksaan. Sejak kasus itu mencuat, saya memang masuk tim pengacara," kata Susantio.
Di tengah perjalanan, pada 2009, Edi mengganti tim pengacaranya. Lalu pada 2010, tepatnya bulan Juni, muncul surat kematian atas nama tersangka. Atas dasar itu, Kejaksaan mengeluarkan SP3 pada 2012.
Pada 2010, ada tudingan bahwa yang membantu membuat surat kematian adalah seorang pengacara. Namun pengacara yang dikaitkan dengan penerbitan surat kematian Edy justru sudah meninggal pada April 2010. Sedangkan surat kematian palsu tersangka terbit pada Juni di tahun yang sama.
"Saya tidak tahu sama sekali soal munculnya surat kematian palsu itu karena saya sudah tidak menjadi pengacaranya," kata Susantio.
Kerugian negara akibat kasus korupsi yang melibatkan Edy itu mencapai Rp 800 juta. Kasus ini mencuat pada 2008. Pupuk bersubsidi yang dikorupsi berada di Desa Sinduadi, Mlati, Sleman.
Kejaksaan Tinggi menerbitkan SP3 untuk Edy saat Dadang Darussalam menjabat kepala seksi penyidikan. Sedangkan Kepala Kejaksaan Tinggi dijabat Ali Muthohar. Kini penyidikan kasus pidana korupsi ini kembali dilanjutkan. Sedangkan Kejaksaan Tinggi juga menelisik keterlibatan pegawai.
Menurut informasi yang bisa dihimpun Tempo, untuk menelisik skandal penerbitan SP3 berdasarkan surat kematian palsu, penyidik telah memanggil dan memintai keterangan tiga saksi, yakni Kepala Desa Sinduadi (saat itu) Damanhuri, ketua rukun tetangga tempat tinggal Edy, dan adik tersangka.
Adapaun dalam soal penyelidikan internal terhadap Kejaksaan, penyidik telah memanggil dan meminta keterangan mantan Kepala Seksi Penyidikan Kejaksaan Tinggi Daerah Istimewa Yogyakarta Dadang Darussalam, yang kini bertugas di Kejaksaan Agung.
"Keterangannya belum cukup. Masih akan diperiksa lagi," kata salah satu penyidik yang tak mau disebutkan namanya.
Kejaksaan Agung melalui Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Khusus Widyo Pramono yang datang ke Kejaksaan Tinggi Daerah Istimewa Yogyakarta menyatakan jika ada oknum jaksa yang "nakal", pihaknya tidak akan sungkan melakukan pengusutan. Jika oknum tersebut terbukti bersalah, institusinya tidak akan memberikan pembelaan.
"Jika bukti cukup, laporan harus ditindaklanjuti. Tapi kalau tidak, jangan ragu menghentikan. Karena langkah penghentian itu juga proses hukum," katanya.
Di sisi lain, ia mendorong masyarakat supaya tidak sungkan melaporkan dugaan korupsi yang mereka ketahui. Sebab, Kejaksaan juga terbuka untuk menerima informasi itu. Namun, dia menegaskan laporan yang disampaikan hendaknya bukan fitnah, melainkan berdasarkan dugaan kuat ihwal adanya penyimpangan atau korupsi di suatu instansi.
MUH SYAIFULLAH