TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian Panggah Susanto mengatakan konsumsi cokelat penduduk Indonesia mencapai 0,3 kilogram per kapita per tahun pada 2013 dan diprediksi terus meningkat tahun ini. Jumlah itu lebih besar ketimbang konsumsi tahun sebelumnya yang hanya 0,1 kilogram. (Baca: Konsumsi Cokelat, Indonesia Kalah dari Malaysia)
"Ini daya tarik investor asing membangun pabrik cokelat di dalam negeri," kata dia kepada Tempo di kantor Kementerian Perindustrian, akhir Februari 2014. Pertumbuhan konsumsi cokelat dunia menanjak terus sekitar 2-4 persen atau 80-160 ribu ton per tahun. "Terutama Asia."
Menurut Panggah, dalam kurun empat tahun terakhir, investor asing makin deras menanamkan modalnya membangun pabrik cokelat. Paling anyar adalah pabrik PT Cargill Cocoa dan Chocolate Jos De Loor yang dibangun di kawasan industri Maspion V, Gresik, Jawa Timur. "Pertengahan tahun ini akan beroperasi," ujarnya. Pembangunan pabrik berkapasitas 67 ribu ton itu menghabiskan dana US$ 124 juta atau setara Rp 1,4 triliun.
Sebelumnya, PT Asia Cocoa Indonesia dibangun oleh investor Malaysia dengan modal US$ 50 juta. Kapasitas mesin produksi mencapai 120 ribu ton dibangun di Batam, Kepulauan Riau. Ada juga pabrik Jebe Koko, juga asal Malaysia, yang dibangun dengan modal US$ 21,5 juta. Pabrik berkapasitas 20 ribu ton itu berdiri di Kecamatan Manyar, Gresik, Jawa Timur. Bersamaan dengan Jebe Koko, investor asal Swiss membangun pabrik PT Barry-Comextra di Makassar, Sulawesi Selatan, bermodal US$ 41,6 juta dengan kapasitas mesin 25 ribu ton.
Cargill Cocoa merupakan satu dari 11 pabrik baru yang dibangun setelah pemerintah menggalakkan penghiliran kakao, bahan baku pembuatan cokelat. Sejak pemerintah menerapkan bea keluar 5-15 persen pada April 2010, ekspor biji kakao menurun. Biji kakao itu diserap 16 pabrik cokelat yang tersebar di Medan, Batam, Tangerang, Bandung, Gresik, Surabaya, dan Makassar. Celakanya, penurunan ekspor biji kakao diikuti meningkatnya impor biji kakao. "Serapan biji kakao lokal tidak optimal," katanya.
AKBAR TRI KURNIAWAN