TEMPO.CO, Manama - Tiga polisi tewas akibat ledakan bom yang terjadi di Bahrain pada Senin waktu setempat. Bom ini meledak di tengah aksi protes yang berlangsung di sebuah desa dekat Ibu Kota Manama. Kementerian Dalam Negeri Bahrain menyebutkan ledakan itu sebagai salah satu insiden kekerasan terburuk dalam beberapa bulan terakhir.
Menurut kantor berita WAM UEA, salah satu polisi yang bertugas dalam pasukan Gulf Coorperation Council dan beroperasi di Bahrain jadi salah satu korban di antara tiga perwira yang tewas.
Kelompok oposisi utama Bahrain mengutuk pengeboman itu dan menyebutnya sebagai tindak pidana. Mereka mendesak para pengikutnya untuk memastikan bahwa unjuk rasa hanya menggunakan cara-cara damai guna mendorong tuntutan reformasi.
Mayoritas Syiah Bahrain telah lama mengeluhkan diskriminasi yang terjadi. Namun keluhan itu dibantah oleh pemerintah yang dipimpin penguasa Sunni.
Kementerian Dalam Negeri Bahrain dalam akun Twitter-nya menyatakan bahwa sekelompok pengunjuk rasa memisahkan diri dari prosesi berkabung di Desa Daih dan mulai memblokir jalan. Ledakan bom terjadi saat polisi berusaha membubarkan kelompok tersebut.
"Penyelidikan awal menunjukkan bahwa teroris memasang bom di dekat tiang lampu pada Budaiya Road," demikian pernyataan Kementerian Dalam Negeri yang dimuat di situsnya, seperti dikutip Reuters, Selasa, 4 Maret 2014. Rangkaian bom, isi pernyataan tersebut selanjutnya, diledakkan dari jauh saat polisi sedang mengamankan jalan dan memulihkan ketertiban. Sedangkan dua rangkaian bom lain meledak di desa itu tanpa menyebabkan cedera apa pun, dan keempat bom lain yang belum meledak telah dijinakkan.
Kantor berita negara BNA mengutip Kementerian yang menyatakan bahwa polisi yang tewas "sedang menghadapi kelompok teroris di Daih." Sedangkan kantor berita WAM UEA mengidentifikasi salah satu korban tewas sebagai Letnan Tareq Mohammed al-Shehhi.
Pengadilan Raja Bahrain Hamad mengutuk serangan itu dan mendesak aparat keamanan untuk tidak memberikan ampunan dan membawa pelaku ke pengadilan.
Muslim Sunni yang memimpin kerajaan itu telah mengalami serangkaian kerusuhan sipil sejak protes massa pada 2011 yang dipimpin oleh penduduk Syiah dalam rangka menuntut reformasi politik.
Uni Emirat Arab dan Bahrain merupakan anggota Gulf Cooperation Council, sebuah aliansi politik dan militer yang juga beranggotakan Arab Saudi, Qatar, Oman, dan Kuwait.
Pada 2011, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab mengirim pasukan untuk mendukung penguasa Bahrain dan memadamkan aksi-aksi demonstrasi prodemokrasi penuntut reformasi. Meski demonstrasi dilakukan dalam skala kecil, tetap sering menyebabkan bentrok dengan petugas keamanan.
Negosiasi antara pemerintah dan oposisi untuk mengakhiri kekisruhan yang terjadi telah terhenti.
Kelompok oposisi, termasuk kelompok Syiah al-Wefaq, juga mengutuk ledakan bom itu dan meminta pengikutnya untuk menjalankan aksi protes secara damai. "Mereka menegaskan penolakan terhadap praktek yang menargetkan nyawa dan harta benda, menyerukan pada rakyat Bahrain untuk mematuhi cara-cara damai dan mengutuk tindak kriminal," kata kelompok oposisi dalam sebuah pernyataan kepada Reuters.
REUTERS | ROSALINA