TEMPO.CO, Surakarta - Direktur Eksekutif Penjaminan dan Manajemen Risiko Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Suharno Eliandy menyatakan ada kalanya bank tak bisa dipercaya. “Terutama saat krisis,” ujarnya saat seminar LPS di Universitas Sebelas Maret Surakarta, Selasa, 18 Maret 2014.
Dia menjelaskan selama ini bisnis perbankan mendasarkan pada kepercayaan masyarakat. Dan pada saat terjadi krisis perbankan pada tahun 1997 dan 1998, negara harus mengeluarkan anggaran hingga Rp 600 triliun untuk menyelamatkan stabilitas sistem keuangan dan perekonomian nasional.
Hal itu terjadi karena perbankan gagal mengembalikan dana simpanan nasabah. Adapun kegagalan perbankan saat itu disebabkan berbagai faktor, salah satunya faktor eksternal. "Perbankan itu bisnis. Bisa hidup dan mati," kata Suharno.
Untuk mengembalikan kepercayaan nasabah, tutur Suharno, pemerintah membentuk LPS pada 2004. "Kami ingin agar masyarakat kembali percaya menyimpan uangnya di bank,” katanya. Di luar krisis pada tahun 1997 dan 1998, LPS sudah menutup operasional 56 Bank Perkreditan Rakyat dan mengembalikan uang nasabah sebesar Rp 675 miliar.
Lebih jauh Suharno mengungkapkan selama ini bank juga menilai penyimpanan uang sebagai bisnis yang sulit. Karena itu, bank mengeluarkan sejumlah jurus agar pemegang rekening tabungan bertambah melalui hadiah atau iming-iming tertentu.
Tanpa kepercayaan, masyarakat enggan menyimpan uang di bank. "LPS hadir untuk meyakinkan masyarakat bahwa menyimpan uang di bank aman karena sudah dijamin," katanya.
Ekonom Universitas Sebelas Maret Surakarta, Lukman Hakim, menilai kemunculan LPS cukup terlambat. "Mestinya sudah ada sejak 1988, saat kita masuk era liberalisasi perbankan," ujarnya.
UKKY PRIMARTANTYO
Berita terpopuler:
Pemilu Sumbang Pertumbuhan Ekonomi 0,1 Persen
Inflasi Februari 2014 Turun
Budi Mulya: FPJP Century Sudah Dikembalikan ke BI
BI Nilai Pasar Keuangan Lebih Efisien