TEMPO.CO , Jakarta: Teori Dentuman Besar menyebutkan alam semesta terbentuk akibat ledakan hebat yang terjadi sekitar 13,8 miliar tahun lalu. Kurang dari satu detik jagat raya lalu berkembang dengan kecepatan yang luar biasa.
Berikutnya, terbentuklah galaksi, bintang dan benda luar angkasa lainnya, termasuk bumi yang dihuni manusia. Kini para peneliti berhasil mendeteksi gelombang atau riak yang membuktikan adanya inflasi jagat raya sejak "ledakan" pertama terjadi.
Para peneliti yang tergabung dalam program BICEP2 mengeluarkan dua laporan tentang temuan riak kosmik yang menjelaskan pembentukan jagat raya. Data-data yang mereka luncurkan mencakup gambar perdana gelombang gravitasi di ruang angkasa. Riak-riak ini disebut sebagai "getaran awal dari Dentuman Besar". Informasi itu memperkuat hubungan antara mekanika kuantum dan teori relativitas umum yang diperkenalkan oleh Albert Einstein pada 1916.
"Mendeteksi keberadaan sinyal-sinyal itu adalah tujuan terpenting dalam kosmologi. Banyak orang berusaha keras untuk membuktikannya," kata John Kovac, kepala BICEP2 dan ilmuwan dari Harvard-Smithsonian Center for Astrophysics, seperti dikutip Sciencedaily, 17 Maret 2014.
Jagat raya awalnya adalah kumpulan plasma dan energi yang sangat panas yang tidak memungkinkan bagi foton, partikel dasar cahaya atau radiasi eletromagnetik, untuk bergerak. Lalu terjadilah ledakan besar yang mengawali pembentukan jagat raya. Cahaya awal diduga mulai memenuhi alam semesta sekitar 380 ribu tahun setelah
Dentuman Besar. Berbagai misi ruang angkasa lalu dikembangkan untuk memetakan gelombang kosmik mikro yang menyebar.
Para ilmuwan di BICEP2 mencari gelombang kosmik mikro yang merupakan pendar cahaya lemah sisa dari Dentuman Besar. Fluktuasi sekecil apa pun pada cahaya itu bisa memberi petunjuk kondisi awal jagat raya. Adanya perbedaan kecil pada temperatur mengindikasikan bagian jagat raya yang lebih padat. Kondisi itu kemudian bisa membentuk galaksi dan gugus benda ruang angkasa.
Gelombang kosmik mikro memiliki variasi temperatur yang sangat kecil. Namun persebarannya ke seluruh jagat raya memperkuat konsep inflasi. "Alasan mengapa gelombang kosmik mikro suhunya mirip di berbagai tempat di jagat raya akan tetap menjadi misteri jika tidak ada teori inflasi," kata Chuck Bennett, investigator utama Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA). "Apa yang kita lihat di langit berasal dari area yang sangat kecil."
Gelombang kosmik mikro mengeluarkan sifat mirip cahaya termasuk polarisasi. Di bumi, misalnya, sinar matahari dihamburkan oleh atmosfer. Karena itu kacamata yang terpolarisasi bisa membantu mengurangi silau. Di ruang angkasa, gelombang kosmik mikro dihamburkan oleh atom dan eletron.
"Tim kami mencari jenis polarisasi khusus disebut pola-B yang menggambarkan putaran dalam orientasi polarisasi gelombang itu," kata peneliti Jamie Bock dari Institut Teknologi California. Pendar energi dari plasma putih panas yang berekspansi selama miliaran tahun kini telah menyusut menjadi gelombang mikro.
Ketika bergerak, gelombang gravitasi menekan ruang angkasa. Proses tekanan ini menghasilkan pola khusus yang bisa dideteksi. Seperti cahaya, gelombang gravitasi juga bisa terpolarisasi ke arah tertentu. “Model pola-B yang berpilin itu merupakan tanda unik gelombang gravitasi,” kata Chao-Lin Kuo peneliti dari Universitas Stanford. “Ini merupakan citra langsung pertama gelombang gravitasi yang melintasi angkasa.”
Para peneliti menggunakan teleskop radio di Kutub Selatan untuk melacak gelombang gravitasi tersebut. Kondisi Kutub Selatan yang dingin, kering, dan langitnya bersih sangat mendukung pencarian. Kovac mengatakan Kutub Selatan adalah tempat terbaik untuk mengamati ruang angkasa. “Di sana adalah tempat terkering dan terbersih di bumi, lokasi yang cocok untuk mengamati gelombang lemah dari Dentuman Besar,” kata Kovac.
Avi Loeb, ilmuwan dari Harvard mengatakan penemuan ini memberikan pandangan baru tentang eksistensi alam semesta. “Hasilnya bukan sekedar tahu tentang ledakan besar, tapi juga memberitahu kita kapan inflasi terjadi dan betapa besar prosesnya.”
LIVESCIENCE | SCIENCEDAILY | SPACE | GABRIEL TITIYOGA