TEMPO.CO, Yogyakarta - Meski Universitas Gadjah Mada tidak mengakui lahan yang dijual adalah asetnya, tapi Kejaksaan Tinggi Daerah Istimewa Yogyakarta yakin bahwa lahan itu milik universitas.
UGM menyatakan lahan di Plumbon, Banguntapan, Bantul, itu milik Yayasan Pembina Fakultas Pertanian. Bahkan menuding Kejaksaan Tinggi DIY tergesa-gesa menetapkan status penyelidikan menjadi penyidikan. "Kasus penjualan lahan UGM jalan terus," kata Suyadi, Kepala Kejaksaan Tinggi DI Yogyakarta Suyadi, Minggu, 6 April 2014.
Para penyidik akan segera menyita barang bukti dari Fakultas Pertania ,dan Yayasan Pembina Fakultas Pertanian dalam waktu dekat. Saksi-saksi dari desa dan UGM telah dipanggil untuk dimintai keterangan.
Barang bukti itu, di antaranya, berupa buku bukti kepemilikan lahan, kuitansi penjualan lahan, dan lain-lain. Saat ini lahan itu ditempati warga. Sebab, lahan seluas 4.000 meter persegi tersebut sudah dibeli pengembang perumahan.
Menurut Suyadi, jika tidak mengakui lahan itu asetnya, UGM bisa jadi belum mengetahui. Sebab, lahan itu memang secara administrasi masuk dalam asetnya.
Namun, jika ditelusuri, lahan yang dulu untuk praktek mahasiswa Fakultas Pertanian dan Kehutanan itu milik UGM. Saat UGM menelusuri aset-aset yang belum jelas pada 2000, justru lahan itu diklaim masuk aset yayasan, yang pengurusnya para dosen.
Mei Abeto Harahap, salah satu penyidik yang menangani kasus itu, menyatakan penyidikan kasus ini penting bagi UGM--untuk mengembalikan asetnya. Dari sisi sejarah, juga sangat penting. Sebab, jika lahan itu diakui milik yayasan dan dijual-belikan, akan mengubah sejarah.
Dia juga menyatakan tidak main-main dalam menyelidiki kasus itu. Para penyelidik telah mengawali dan melakukan penelusuran aset itu selama delapan bulan. Jadi, jika Kejaksaan Tinggi DIY dituding tergesa-gesa, itu tidak benar. "Ini kan untuk mengembalikan aset dan sejarahnya juga," katanya.
MUH SYAIFULLAH