TEMPO.CO, Misool - Di setiap pagi, dermaga sederhana Kampung Harapan Jaya, Kepulauan Misool, Raja Empat, yang terbuat dari kayu itu terlihat sibuk. Perahu-perahu berkapasitas sekitar 15 orang bergantian melipir ke mulut dermaga untuk menaikkan dan menurunkan penumpangnya sejak pukul 06.30 Waktu Indonesia Timur.
Beberapa perempuan dan laki-laki setengah baya dari kampung itu, bersiap untuk bekerja menuju salah satu perusahaan mutiara di Kampung Yellu, Kepulauan Misool, Raja Ampat. Tidak hanya orang dewasa yang sibuk naik-turun kendaraan bermotor itu. Ada pula belasan murid-murid sekolah dasar memakai seragam merah-putih yang hendak ke sekolah.
Siswa-siswi itu juga berasal dari Kampung Harapan Jaya. Letak rumah mereka berada di pesisir timur pulau sedangkan sekolah mereka berdiri di pesisir sebelah barat pulau. "Setiap hari saya 30 menit pergi ke sekolah naik speed (kapal cepat)," kata Ali Mumin, 9 tahun, Selasa, 10 Juni 2014, sambil menyebut perahu bermotor yang ditumpanginya itu.
Bocah berbadan kecil itu memilih kapal bermotor untuk menyingkat waktunya mencapai sekolah. Namun saat pulang sekolah, ia biasanya berjalan kaki melewati bukit dan hutan menuju rumah. "Sampai rumah sekitar pukul 01.00 siang atau 01.30," kata murid yang keluar dari sekolahnya pukul 12.00 siang waktu setempat.
Tubuh Ali kecil kurus, memakai topi merah yang sudah ia corat-coret dengan pena. Seragam sekolahnya terlihat lusuh. Warna putih atasannya sudah berubah jadi kuning kusam dengan beberapa kancing yang lepas dan dasi merah yang diikat seadanya. Warna celana merah panjangnya pun terlihat tidak cerah, bagian resleting celana itu juga sudah rusak dan tidak bisa digunakan kembali sehingga celana dalam putihnya mengintip keluar. Ia tahu itu, tapi tetap percaya diri menggunakannya.
Tidak hanya Ali yang terbiasa menggunakan perahu bermotor tak berongkos itu ke sekolah. Murid lain seperti Nuria Limalol, 9 tahun, pun melakukan hal yang sama. Anak ketiga dari lima bersaudara ini pun sehari-hari berperahu menuju sekolahnya. Sama seperti Ali, baju Nuria pun terlihat lusuh dan pudar. Rambutnya cokelat dan diselingi dengan helaian rambut yang berwarna oranye, tanda ia suka beraktivitas di bawah terik matahari. Saat senyum, bocah berkulit gelap ini sengaja menampakkan lesung pipit dan gigi ompongnya.
Baik Ali maupun Nuria tidak membawa buku satu pun ke sekolah mereka. Semua barang sekolah sudah dititipkannya di satu-satunya sekolah dasar di kampung itu. Untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, mereka harus berpindah pulau lagi.
Jadwal sekolah mereka tidak terlalu ketat seperti sekolah-sekolah di Jakarta. Terkadang, bila cuaca tidak bersahabat, mereka bisa tidak bersekolah. Seperti Selasa itu, saat The Nature Conservancy, lembaga pemerhati lingkungan yang bermarkas di kampung itu, mengadakan lomba mewarnai dalam rangka memperingati The Coral Triangle Day serta berakhirnya masa kerja mereka di pulau itu. Para peserta yang terdiri dari murid-murid SD Negeri Harapan Jaya itu pun akhirnya dipulangkan oleh guru mereka sejak pukul 10.00 Wita. Kembali lagi dengan perahu cepat gratis itu.
MITRA TARIGAN