TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Ekonom PT Bank International Indonesia Tbk Juniman mengatakan pelaku pasar mulai meninggalkan aset-aset rupiah dan berburu dolar Amerika Serikat. "Investor takut memegang rupiah yang semakin rawan oleh ancaman double deficit, yakni defisit transaksi berjalan dan defisit anggaran," ujarnya ketika dihubungi Tempo, Kamis, 26 Juni 2014.
Melonjaknya harga minyak mentah jenis Brent pada kisaran US$ 116 per barel membuat biaya impor minyak semakin membengkak. Berdasarkan penghitungan para ekonom, setiap kenaikan harga minyak sebesar US$ 1 dolar per barel berpotensi membuat negara menambah subsidi Rp 700 miliar. (Baca: Tunggu BI Rate, Rupiah Stabil)
Menurut Juniman, kondisi ini kemudian memicu spekulasi bahwa defisit perdagangan akan semakin melebar dan, akibatnya, defisit transaksi berjalan meningkat. Hingga kuartal pertama, defisit neraca berjalan telah mencapai US$ 4,2 miliar atau 2,06 persen dari GDP. "Saya khawatir di defisit transaksi berjalan kuartal kedua bisa mencapai 2,3 persen dari GDP."
Imbas lonjakan harga minyak terhadap pelemahan mata uang juga dialami oleh negara net importer lainnya seperti India, Korea Selatan, Malaysia, dan Thailand. Mereka sedang menghadapi ancaman defisit perdagangan. (Baca: Beberapa Faktor Penyebab Pelemahan Rupiah)
Produk minyak negara tersebut kebanyakan tidak disubsidi. Sedangkan minyak Indonesia masih disubsidi. Ini akan menimbulkan konsekuensi yang kedua, yaitu melebarnya defisit anggaran (budget deficit). "Defisit anggaran kita telah mencapai 2,3 persen GPD, atau tertinggi dalam sepuluh tahun terakhir," tuturnya.
Karena itu, rilisan data-data ekonomi kuartal kedua akan menjadi penentu nasib rupiah. Dalam jangka pendek, rupiah bisa menembus level 12.280 per dolar AS. Namun, seiring dengan meredanya tekanan pada awal bulan dan ekspektasi surplus neraca perdagangan, rupiah bakal kembali di bawah level 12.000.
Analis pasar uang PT Bank Mandiri, Reny Eka Putri, memperkirakan rupiah masih berpeluang melemah seiring dengan semakin tingginya permintaan dolar pada akhir bulan. “Rupiah masih cenderung melemah hingga akhir bulan,” katanya.
Sesuai dengan siklus, kata dia, permintaan dolar memang akan cenderung lebih besar pada hari-hari terakhir pada pengujung bulan. Selain dibebani pembayaran dividen, kewajiban jangka pendek korporasi yang jatuh tempo pada akhir bulan mendorong perusahan selalu meningkatkan pembelian dolar menjelang waktu tersebut.
M. AZHAR | MEGEL JEKSON
Berita terpopuler:
FSRU Lampung Alirkan Gas ke Industri
Jelang Puasa, Penukaran Uang di Tegal Meningkat
Ini Tiga Tantangan Bisnis Properti di 2014
Hari Ini Pasar Murah di Kemendag Dibuka