TEMPO.CO, Yogyakarta - Lima mahasiswa UGM yang terlibat dalam salah satu tim peserta Program Kreativitas Mahasiswa Penelitian (PKM-P), Direktorat Pendidikan Tinggi (Dikti) membuat apron, yakni baju pelindung penutup separuh bagian luar tubuh, untuk penangkal efek radiasi nuklir. Apron itu serupa rompi yang melindungi bagian depan tubuh mulai dada hingga paha.
Koordinator tim pembuat karya itu, Ahmad Aji Wijayanto mengatakan karya timnya memperbaiki kualitas apron yang beredar di pasaran domestik selama ini. Baik, dari segi kualitas bahan, kenyamanan hingga harga. "Aprom umumnya terbuat dari lempeng plat timbal yang kaku dan berat," kata mahasiswa Program Studi Teknik Nuklir, Jurusan Teknik Fisika, UGM angkatan 2010 ini pada Rabu, 16 Juli 2014.
Apalagi, apron yang selama ini beredar di pasaran Indonesia untuk pelindung radiasi tingkat ringan hingga menengah masih produksi laur negeri. Harganya mencapai Rp2,5 juta sampai Rp5 juta per potong. "Apron buatan kami, dengan kualitas perlindungan sama, hanya memerlukan biaya Rp 1,5 juta," kata dia.
Apron sebenarnya penting untuk pelindung tubuh para pekerja dari radiasi nuklir di berbagai bidang. Misalnya, pelindung bagi tenaga kesehatan instalasi radiologi rumah sakit dari paparan radiasi cairan suntikan untuk pasien. Pekerja di sektor pertambangan, pengilangan minyak, industri deteksi kerusakan instalasi mesin produksi dan periset teknologi nuklir juga membutuhkan pelindung apron dalam beraktivitas.
Menurut Ahmad, apron biasa bisa memiliki berat dua sampai tiga kilogram. Karena bahannya dari plat timbal yang kaku, teksturnya tak fleksibel seperti pakaian biasa dan mudah terlipat saat tertekuk. "Apron buatan kami lebih ringan 30 persen," kata dia.
Ahmad mengatakan perbedaan mendasar ialah bahan apron yang terbuat dari karet sintetis. Di proses pembuatan karet sitetis, Ahmad dan timnya, mencampur bahan polynile choloride dan Di-2-ethylexy pthalate dengan serbuk timbal. "Timbal bisa menyerap radiasi, tapi kami memakainya dalam bentuk serbuk bukan plat," kata dia.
Proses pembuatan ini memanfaatkan konsultasi dengan Balai Besar Kulit, Karet dan Platik Yogyakarta. Menurut Ahmad, pemakaian bahan kulit sintetis anti radiasi ini membuat apron berbahan timbal serupa jaket biasa. "Lentur, nyaman dan ringan," kata dia.
Kualitas apron buatan tim UGM untuk penyerapan pada radiasi gama mampu efektif di level menengah. Ahmad mengatakan apron dari kulit sintetis yang sudah dicampur serbuk timbal mampu menyerap radiasi energi gama dari yang ringan hingga sedang. "Radiasi ini tak bahaya tapi jika terus menerus bisa berefek pada bagian tubuh yang sensitif seperti jantung, paru-paru, kelenjar, organ kelamin dan lainnya," kata dia.
Anggraeni Ayu, anggota tim itu dan mahasiswa Fakultas Kedokteran UGM angkatan 2011, mengamati selama ini di banyak rumah sakit, pekerja instalasi radiologi sering tidak memakai apron sepanjang melakukan pekerjaannya karena faktor ketidaknyamanan. Apron berbahan plat timbal hanya sering dipakai saat risiko radiasi lumayan tinggi. "Radiasi gama tingkat ringan hingga menengah kalau sering terpapar ke tubuh berisiko kanker, memutasi sel genetik, merusak kelenjar hingga memicu kematian," kata dia.
Apron buatan tim UGM memang berupa pelindung bagian depan tubuh dari dada hingga paha yang terbuat dari kain mirip karet sintetik. Lapisannya tipis hanya beberapa inci dan serupa bahan jaket kulit sintetik umumnya. Ada tiga pelapis yang membentuknya, yakni warna kulit, bahan kulit sintetit yang bercampur serbuk timbal dan kain biasa pelapis bagian paling bawah.
ADDI MAWAHIBUN IDHOM
Topik terhangat:
Jokowi-Kalla | Prabowo-Hatta | Piala Dunia 2014 | Tragedi JIS
Berita terpopuler:
Saking Miskinnya, Nenek Ginem Makan Bangkai
NASA: Kami Akan Temukan Kehidupan di Luar Bumi
Singgung Rasul, Ini Klarifikasi Quraish Shihab