TEMPO.CO, Jakarta - Pendukung Negara Islam Iraq dan Syria (ISIS) di Indonesia tak memiliki garis koordinasi dengan gerakan yang ada di Irak dan Suriah. Hubungan mereka sejauh ini masih teramat cair. “Tidak ada afiliasi resmi,” ujar pengamat terorisme, Taufik Andrie, ketika dihubungi, 9 Agustus 2014.
Taufik menjelaskan warga Indonesia yang ikut berperang bersama ISIS umumnya berangkat atas inisiatif pribadi atau kelompok-kelompok kecil. Mereka pergi dengan biaya mandiri. “Berbeda dengan mujahidin Afganistan. Mereka semua bergerak dengan komando,” katanya.
Sesampainya di sana, kata Taufik, mereka akan menemui pimpinan perang untuk mengetahui peran mereka masing-masing sesuai kebutuhan di lapangan. “Tidak semuanya ada di front. Sebagian ada yang diminta memantu urusan logistik, ada juga yang bergabung dengan tim medis,” ujarnya.
Posisi mereka saat ini terpencar di kota yang berbeda. Sebagian ada di Aleppo, ada pula yang ditempatkan Raqqa. Mereka pun hanya bisa sesekali bertemu. “Tak semua berafiliasi dengan ISIS, sebagian ada yang bergabung dengan Jabhah Nusroh,” kata Taufik.
Meski demikian, kedatangan WNI di sana tak menutup kesempatan mereka untuk membangun jaringan dan belajar banyak hal. “Itu otomatis. Mereka tak hanya datang untuk membantu, tapi juga belajar ideologi pergerakan dan strategi dalam berperang,” ujarnya.
Menurut Taufik, WNI yang ikut berperang bersama gerakan ISIS umumnya berasal dari kelompok-kelompok lama yang dikenal mengusung ideologi kekerasan. “Hingga kini belum ada satu pun di antara mereka yang kembali ke Indonesia,” katanya.
RIKY FERDIANTO
Topik terhangat:
ISIS | Pemerasan TKI | Sengketa Pilpres | Pembatasan BBM Subsidi
Berita terpopuler lainnya:
Ketua Gerindra Jakarta Ancam Culik Ketua KPU
SBY Buka Suara Soal Pencopotan KSAD Budiman
Golkar Bisa di Luar Pemerintahan, Begini Caranya