TEMPO.CO , Makassar:Pementasan naskah I La Galigo oleh mahasiswa Universitas Hasanuddin (Unhas) memiliki visi menyampaikan nilai-nilai kemanusiaan, perdamaian dunia dan kebudayaan. Menurut Andi Ita Magdalena, pimpinan produksinya pementasan teater ini akan berlangsung pada 27 sepetember mendatang di Stadion Andi Mattalatta, Makassar. Ita, yang setahun belakangan ini bersama seratusan kawannya bergelut mempersiapkan pertunjukan yang diangkat dari naskah mitologi asal Sulawesi Selatan. (Baca: PPP Sulawesi Selatan Dukung Jokowi-JK )
Dalam mitologi ini, mengangkat misi perdamaian karena ingin menghilangkan citra kekerasan yang sekarang marak terjadi di belahan dunia. Menurut dosen jurusan Sejarah Unhas, Dias Pradadimara, begitu banyak kekerasan baik di tingkat global sampai yang dekat dengan lingkungan sekitar seperti kekerasan terhadap anak atau tawuran.
Dias yang ditemui dalam Sosialisasi Pementasan Naskah Terpanjang Dunia Memory of The World (MoW) I La Galigo Goes to Germany 2014 dan Diskusi Publik Perdamaian bertema " Humanity, Peace, For Our Campus" di Auditorium Prof. Amiruddin Fakultas Kedokteran Unhas, pada Jumat pekan lalu, mengatakan perlu dua hal untuk mengatasi kekerasan yang belakangan marak.
"Pertama, kita harus menghilangkan kekerasan sebagai pilihan dari tindakan kita," ujar Dias. Menurutnya, bila kita tidak sepaham dengan sesuatu, tidak harus dengan memilih kekerasan. Dias juga menuturkan opsi kedua menggantikan kekerasan dengan sesuatu yang lain. Dia mencontohkan bila kita memiliki kemampuan berenang maka tekuni soal ini, termasuk kemampuan lain seperti berpuisi, menulis, atau bersepeda.
Sementara Alwy Rachman, pengajar di Fakultas Sastra Unhas (Baca: Sapardi Djoko Damono, Sastra, Kata yang Meloncat) mengatakan, peradaban sekarang penuh dengan konflik. "Satu di antara cara yang paling dekat adalah bagaimana memanfaatkan kekuatan budaya untuk digunakan dalam ide-ide perdamaian," ujar dia.
Alwy menilai saat ini manusia diikat oleh kebudayaan, sementara pada manusia modern yang tanpa kisah, ujar Alway, bisa jadi karena tidak tahu lagi budayanya.
Selain di Makassar, pementasan La Galigo juga akan berlanjut ke Jakarta hingga ke Jerman. Alasan memilih negara ini, menurut Alwy, saat ini di Jerman ada arus baru yang coba dikembangkan para sarjana dari berbagai bidang. "Mereka mencari model yang tidak bengis, model politik yang santun. Sebab, Jerman di suatu masa pernah terjerumus di masa kejam, seperti pada masa Nazi berjaya," kata Alwy.
Sementara Andi Ita Magdalena, pimpinan produksinya menerangkan alasan membawa ke Jerman karena ada banyak penunjang untuk pementasannya. Menurut Ita, pokok cerita I La Galigo adalah pengalaman enam generasi keturunan dewa-dewa dunia atas (Botting Langiq) dan dunia bawah (Pertiwi). Sawerigading, tokoh utama La Galigo kadang-kadang muncul juga dalam cerita-cerita.
Ita menerangkan tema yang menonjol dalam seluruh ceritanya tentang kehidupan manusia, peradaban, jalinan kebudayaan antarmanusia dan perkembangan pengetahuan dengan teknologi di masyarakat. Secara umum, ujar Ita, naskah I La Galigo memuat cerita cinta, perkawinan, dan pencarian jodoh. "Kisah-kisah romantisme itu dikemas dengan misi-misi perdamaian," kata Ita.
Profesor Nurhayati Rahman, guru besar Sastra Daerah Unhas menambahkan I La Galigo berkisah tentang warga suku di Nusantara yang bersaudara dengan leluhur yang sama, yakni Sawerigading. "Sebelum Amerika memperkenalkan teori manajemen konflik, La Galigo sudah memuatnya," kata dia. Tak heran, ujar Nurhayati, citra masyarakat Makassar seolah suka kekerasan. Namun Nurhayati yakin pementasan mitologi ini adalah karya sastra yang sarat dengan perdamaian.
REZKI ALVIONITASARI
Terpopuler
Bimbim Slank Demen Bila Ahok Marah
Berkat Disney, Ini 7 Bintang Tenar dan Skandalnya
Wanda Hamidah: Putusan PAN Tak Masuk Nalar Sehat
David Beckham Beruntung Menikah dengan Victoria
Kanye West Kembali Desak Kim Berhenti Syuting