TEMPO.CO , Tokyo: Suasana riuh dan lalu-lalang manusia tersaji begitu melangkah keluar dari stasiun subway di kawasan Asakusa, Tokyo, Jepang, pertengahan September lalu. Asakusa adalah satu di antara kawasan yang populer bagi wisatawan. Di sini ada pintu gerbang besar Kaminarimon yang legendaris dan Kuil Sensoji—pemilik lampion terbesar di Tokyo.
Saat itu, beberapa jam sebelum terbang kembali ke Indonesia, saya menyempatkan diri datang ke Asakusa. Ini kedua kalinya saya berkunjung ke tempat itu. Pertama kali adalah pada 2011.
Bagi Anda yang suka belanja, misalnya, menyusuri Jalan Nakamise di Asakusa amatlah menyenangkan. Sepanjang jalan, kurang-lebih 500 meter, ada banyak toko suvenir, seperti yukata, kimono, T-shirt, gantungan kunci, sampai penganan tradisional Jepang, seperti ningyoyaki (sejenis kue kacang merah). Konon, toko-toko ini sudah ada sejak abad ke-18. Saat itu warga setempat mulai diizinkan berjualan berbagai macam barang untuk keperluan peziarah.
Asakusa adalah pusat hiburan di Tokyo. Pada awal masa modern di Jepang atau yang biasa dikenal dengan sebutan Zaman Edo (1603-1867), daerah ini menjadi pusat pertunjukan Teater Kabuki dan pertunjukan modern seperti bioskop. Saat Perang Dunia II terjadi, kawasan ini musnah, hanya menyisakan Kuil Sensoji, yang kemudian dibangun ulang.